Seringkali aku berkata, ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku adalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai anggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita.
Ketika aku berdoa kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas
Ku tolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Ku perlakukan Ia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Ku minta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku.
Gusti,
padahal tiap hari kuucapkan, "hidup dan matiku hanya untuk beribadah."
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar