Senin, 13 Agustus 2012

~ "Karena-Nya Aku Menunggu" ~

"Jadi gimana Mita? Kamu mau menerimanya? Ini sudah ikhwan kelima yang meminangmu."

Aku menggeleng. Kepalaku tertunduk mendengar perkataan kak Sinta, seseorang yang sudah ku anggap sebagai kakak sendiri di tan
ah rantau ini. Jemariku memilin-milin jilbab merah muda yang ku kenakan.

"Kamu nunggu apa lagi? Usiamu sudah cukup, pekerjaanmu sudah mapan. Apa lagi yang kamu tunggu, Mita?" Kak Sinta menghela nafas panjang, kekecewaan tersurat jelas dari nada bicaranya.

"Kakak tahu, Andri ini bukanlah tipemu. Ia seorang pekerja lapangan, bukan orang yang suka membaca buku. Tapi tolong, Mita.. Pertimbangkan lagi, istikharahlah dulu.."

"Aku udah istikharah Kak.." tukasku

"Coba sekali lagi.." suara Kak Sinta melunak

Aku hanya mengangguk. Kepalaku masih tertunduk. Sudah beberapa kali istikharah, namun tetap saja hati belum menemukan kemantapan.

"Bagaimana mungkin kau merasa mantap Mita kalau di hatimu hanya ada satu nama saja." sebuah suara berbisik.

Cepat-cepat aku menggeleng dan memohon pamit pada kak Sinta. Lupa tujuan kedatanganku ke rumahnya menemui si kecil Zahwa yang belum pulang dari mengaji.

---

Kujamahkan pandanganku pada langit-langit kamar 3x3 meter ini dengan tatapan kosong. Ini tahun ketigaku di kota yang katanya 'lebih kejam dari ibu tiri', sedangkan aku masih sendiri. Perkataan kak Sinta kemarin menohokku. Benar kata Kak Sinta, sudah empat kali aku menolak lamaran laki-laki. Menjadi lima jika nanti aku resmi menolak Andri.

Sebut saja Dika, teman kuliah kak Sinta yang ku tolak karena aku merasa belum mapan. Sementara aku harus membantu biaya sekolah adik-adikku. Sekarang, penghasilanku sebagai guru SMP Islam ternama dan juga berbisnis produk herbal, sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup dan membantu orang tua. Namun tetap saja tiga laki-laki berikutnya tak mampu menggoyahkan hatiku untuk mengatakan 'ya'.

"Apa yang kau cari Mita?" suara kak Sinta seakan bergema di dinding kamar. Pertanyaan itu seolah menghujamiku berulang-ulang. Bahkan aku bisa menirukan persis nada bicara perempuan yang usianya terpaut lima tahun di atasku itu. Nada kekecewaan, nada kekhawatiran, ah..aku tahu usiaku sudah menginjak seperempat abad tahun ini. Kak Sinta tahu persis siapa saja laki-laki yang melamarku. Tak urung, ia selalu menawarkan kelebihan-kelebihan mereka, agar hatiku menemukan kemantapan. Nampaknya ia cemas padaku yang tak kunjung menjatuhkan pilihan.

"Menikah itu salah satu hal yang harus disegerakan dalam Islam, Mita.."

"Mita, kamu tahu kan, kalau ada laki-laki yang baik agamanya datang meminang, tetapi pinangannya tidak diterima, maka dikhawatirkan akan timbul fitnah?"

Atau yang akhir-akhir ini kerap dikatakannya berulang-ulang, "Dulu Dika nggak mau, alasannya kamu belum mapan. Amir, alasannya sholatnya jarang tepat waktu. Hasan, alasannya pernah berpacaran bertahun-tahun dan kamu nggak mau. Lalu Toni, alasannya pekerjaannya terlalu jauh. Dan sekarang Andri.. Kakak nggak menemukan alasan kamu menolaknya."

"Ah, apakah ketiadaan alasan untuk menolak mengharuskan seorang perempuan untuk menerima pinangan seorang laki-laki?" gumamku.

Aku memang tak punya alasan kuat untuk menolaknya. Tetapi aku pun tak menemukan alasan untuk menerimanya. Kami terlalu berbeda. Begitu aku menyimpulkannya, setelah mendengar penuturan orang-orang yang dekat dengannya. Ia tak suka istrinya banyak di luar, sedangkan aku punya banyak kegiatan. Ia amat pendiam, sedangkan aku banyak bicara. Ia berasal dari keluarga amat kaya, sedankan aku dari keluarga sederhana. Dan sebagainya. Benakku sudah mencatat panjangnya perbedaan di antara kami.

Apa karena ketidaksamaan itu aku harus menolaknya? Apakah penolakanku kepada semua laki-laki yang bermaksud serius denganku benar-benar berdasarkan alasan yang sesungguhnya? Pertanyaan demi pertanyaan menghujaniku.

"Tidak Mita, sebenarnya kamu hanya menunggu satu laki-laki." suara itu datang lagi. Aku tercekat. Itukah jawabanku yang sebenarnya? Sehingga berkali-kali istikharah pun, aku tak kunjung mendapatkan kemantapan. Hatiku sudah terkunci pada satu nama, suka atau tak suka. "Aku menunggunya." sebersit keyakinan tersimpan rapi di ujung hati.

---

Laki-laki itu bernama Fahmi. Usianya sebaya denganku. Hampir semua orang di kampus mengenalnya. Ia aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan dan juga aktif di kegiatan sosial. Tulisan-tulisannya kerap dimuat media massa. Beberapa kali aku terlibat satu kepanitiaan dengannya. Bagiku itu sudah cukup untuk mengenal kepribadiannya. Dan melalui tulisannya aku bisa membaca pandangannya. Sudah cukup untuk membuatku menyebut namanya dalam setiap doa. Sudah cukup untuk membuatku menahan rasa sekian lama.

"Mita.." pintu diketuk, suara kak Sinta membuyarkan anganku.

Astaghfirullah, cepat-cepat aku beristighfar. Tak baik memikirkan laki-laki bukan mahram. Untung suara ketukan itu menyadarkan aku.

"Kakak boleh masuk? Tadi kakak dibukakan pintu oleh bu Imah." ujar Kak Sinta.

Cepat-cepat aku beranjak dan membukakan pintu. Senyum manis kak Sinta menyambutku, seperti biasa.

"Masuk Kak.."

Kak Sinta mengambil posisi duduk di atas kursi belajar. Ia langsung menceritakan maksud kedatangannya. Tentang Andri tentu saja. Aku hanya menggeleng.

"Kakak sudah menduga jawabanmu. Boleh Kakak tahu alasannya?"

Aku menggeleng. Aku memang tak punya alasan.

"Mita, maafkan kakak lancang mengatakan ini. Melihat gelagatmu yang aneh kemarin saat bertemu dengan Fahmi, Kakak tiba-tiba ingat kamu pernah bercerita ingin memiliki suami yang punya banyak kesamaan. Apakah kamu menyimpan perasaan khusus kepada Fahmi?" Kak Sinta terdengar menyelidik.

Aku terdiam. Perasaan ini sudah tersimpan rapi begitu lama. Hanya aku dan Allah yang tahu. Aku ingin seperti Fathimah kepada 'Ali.

"Mita.. Jujurlah pada Kakakmu ini..!"

Tangan kak Sinta mengangkat daguku lembut. Mata bulatnya beradu pandang denganku. Ia menatapku dalam.

"Iya Kak.." hanya itu jawaban yang mampu ku lontarkan.

"Aha.." seru Kak Sinta girang.

"Wah kalau Fahmi sih mudah saja kakak menyampaikannya. Dia kan sahabatnya Mas Wawan. Tinggal bilang Mas Wawan saja kalau kamu ingin berproses dengannya. Bagaimana?" mata kak Sinta berkedip-kedip menggodaku.

Aku menggeleng cepat. "Nggak ah Kak, masak perempuan yang minta duluan. Lagipula aku tak sanggup Kak kalau nanti dia mengatakan tidak." tukasku.

"Mita, pandang mata kakak.." nada suara kak Sinta tegas.

"Lihat ke sini, dengar ucapan Kakak baik-baik. Sampai kapan kamu mau begini, Mita? Maafkan Kakak yang terlambat peka dengan perasaanmu terhadap Fahmi. Tapi Kakak rasa, kamu sudah menyimpan perasaanmu cukup lama. Sudah berapa lama, Mita?"

Lidahku serasa kelu. Aku hanya mampu mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku berdampingan.

"Dua tahun? Dan selama itu kamu menolak beberapa pinangan lelaki baik-baik? Tak sadarkah kamu, Mita? Semakin kamu menyimpan perasaan, semakin besar kemungkinanmu berzina hati. Kalau memang kamu yakin Fahmi bisa menjadi imam yang baik untukmu, mengapa tidak kamu utarakan padanya? Melalui perantara tentunya. Toh agama kita tidak melarangnya kan?"

Otakku sibuk mencerna kata-kata kak Mita. Memikirkan kemungkinan melakukan hal yang tak pernah ku pikirkan selama ini.

---

"Assalaamu’alaikum.." suara yang ku kenal menyapa. Suara mas Wawan, suami kak Sinta. Di belakangnya pasti ada kak Sinta dan Zahwa.

"Wa’alaikumussalaam.." segera kuletakkan sayuran yang hendak kumasak, membukakan pintu.

"Wah..tumben Kakak-Kakakku berkunjung ke mari bersamaan. Masuk, Kak. Silahkan duduk. Zahwanya mana Kak?" aku tak menemukan Zahwa bersama mereka.

"Kebetulan tadi Zahwa diajak pergi sama Budhenya. Eh, ngomong-ngomong, Mita lagi sibuk nggak?" Kak Sinta membuka pembicaraan.

"Enggak kok, cuma mau masak. Ada apa ya Kak?"

"Begini Mita.." mas Wawan mengambil alih pembicaraan. Mengalirlah ceritanya, tentang kak Sinta yang telah menceritakan kecenderunganku pada Fahmi. Tentang keinginanku agar mas Wawan membantuku berproses dengan Fahmi. Hingga..

"Maaf Mita, Mas nggak bisa bantu. Saat ini, Fahmi sedang berproses dengan akhwat lain, dan sepertinya akan berlanjut."

Suara Mas Wawan seperti petir di siang bolong. Sia-sia sudah doa panjangku untuknya. Sia-sia sudah penantianku sekian lamanya. Sia-sia sudah aku menolak lima laki-laki hanya untuk menunggunya.

Rasa sesak memenuhi seisi dadaku. Ia mendesak tenggorokkanku. Pandanganku serasa diselimuti kabut. Kukatupkan pelupuk mataku menahan butiran embun agar tak tumpah. Tapi sia-sia, embun hangat berubah laksana air bah yang enggan berhenti meluap.

Tanpa diminta, tangan Kak Sinta terhulur ke arahku. Kusambut dengan membenamkan tubuhku dalam pelukannya. Membiarkan aku terisak-isak dalam erat dekapannya.

---

Tiga bulan sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah berusaha menghapus nama laki-laki itu dalam hati. Aku menghindari pertemuan dengannya dan semakin menyibukkan hari-hariku. Memperluas pergaulanku. Memperpanjang bacaan shalatku, memperlama tilawah setiap harinya.

Lagu Maher Zain terlantun dari telepon genggamku, sebuah panggilan masuk yang segera kuangkat.

"Assalaamu’alaikum.." suara laki-laki yang amat ku kenal menyapa.

"Ayah!" Pekikku senang, jarang-jarang Ayah meneleponku.

"Eh saking girangnya anak Ayah nggak menjawab salam. Ayah ada di depan kosmu Nak.."

Seruanku semakin keras. Cepat-cepat kukenakan jilbab dan membukakan pintu.

"Assalaamu’alaikum putri Ayah.." Ayah tersenyum lebar seraya memelukku. Sudah tiga bulan aku tak pulang ke kampung halaman.

"Ayah makin ganteng aja.." aku merajuk manja, menggandeng tangannya masuk.

"Eit eit, tunggu dulu. Lihat dulu dong yang ada di belakang Ayah. Disuruh masuk sekalian tuh."

Aku menoleh ke belakang. Perhatianku hanya terfokus untuk Ayah.

"Fahmi..!!!" seruku terpekik.

Fahmi tersenyum sekilas menatapku sebelum menundukkan pandangannya.

---

Bagitu cepat rasanya kisah ini. Tiga bulan yang lalu aku mengaku kepada kak Sinta akan perasaanku. Meminta Mas Wawan membantuku. Kemudian hatiku hancur berkeping-keping mendengar berita tentang Fahmi. Kini, laki-laki itu datang ke hadapanku, bersama laki-laki paling istimewa dalam hidupku dengan tiba-tiba.

"Jadi begini Nak, dua hari yang lalu Fahmi datang ke rumah dan meminta izin untuk melamarmu. Ayah menyuruhnya untuk menunggumu pulang tetapi ia tak mau, ia ingin segera katanya. Maka ia membawa Ayah ke tempat ini untuk meminta jawabanmu secara langsung.."

"Me..la..mar..???” aku menekankan kata itu kalau-kalau aku salah dengar.

"Iya, aku ingin melamarmu Mita. Aku ingin menjadikanmu sebagai istriku." tutur Fahmi seraya manatap Ayah.

Ayah mengangguk. Isyarat membenarkan apa yang dituturkan Fahmi.

"Jadi bagaimana jawabanmu Mita?"

"Bagaimana prosesmu dengan akhwat itu, bukankah berlanjut?"

Tampak keterkejutan di wajah Fahmi, sebelum dengan cepat menguasai diri.

"Aku tak menemukan kemantapan dengannya, lalu memutuskan untuk tak berlanjut. Berkali-kali aku shalat istikharah, dan kecenderunganku hanya pada namamu."

Aku terdiam, mencerna kata-katanya.

"Jadi bagaimana Mita?" kali ini suara Ayah terdengar.

Aku menundukkan kepala menahan senyum bahagia. Menyembunyikan semburat yang merona di kedua pipiku. Rasa hangat menjalari sekujur tubuhku. Diamnya seorang wanita adalah tanda kesediaannya bukan?

---

Akad nikah dilangsungkan di masjid dekat rumahku sebulan sesudah kedatangan Ayah dan Fahmi. Musik nasyid dan alunan rebana mengiringi Walimatul ‘Ursy yang kami selenggarakan secara sederhana di halaman rumahku yang cukup luas.

"Aku tahu kamu yang suka duluan sama aku.." bisik Fahmi di telingaku saat tamu sudah mulai sepi.

"Ah, bukankah kamu yang melamarku..?" tepisku, pura-pura tak ingat akan niatanku dulu.

"Iya kamu bermaksud melamarku tapi nggak jadi kan? Ngaku aja, berarti kamu yang suka duluan sama aku.." suara Fahmi semakin menggodaku.

Aku memasang tampang cemberut. Meski hatiku tengah berbunga-bunga karenanya.

"Aih..gitu aja cemberut, istriku." katanya sambil menjentikkan jarinya di hidungku.

"Sayang, tahu nggak kenapa lama banget aku baru punya istri? Padahal yang naksir aku banyak lho.." lanjutnya membuatku ingin mencubitnya.

Aku hanya menatap tajam ke dalam matanya yang kian berbinar. Tanpa tahu apa yang harus kukatakan.

"Aku tahu.." sahutnya. "Kamu pasti istimewa, karena-Nya aku harus menunggumu sekian lama." bisiknya seraya perlahan mengecup pipiku yang memerah.

*Dikutip dari Catatan Dian Nur'aeni, "Ketika Akhwat Menunggu"
http://www.facebook.com/notes/dian-nuraeni/ketika-akhwat-menunggu/10151212305203206

Tidak ada komentar:

Posting Komentar