Seraya berharap dia
pun menatapnya
Lalu kuteteskan
pilunya rindu menusuk qalbu
Seraya berucap,
“Wahai Bintang…
Sampaikan padanya
dimanapun ia berada
Bahwa aku masih
merindukannya”
Namun jauh kini
kusadari
Bahwa semua itu
tiada arti
Hanya menyia-nyiakan
diri
Yang tak pernah
memberi arti
“Ya Rabbi…
Semestinya pada-Mu
aku berharap
Bukan pada
makhluq-Mu aku meratap
Ya Rabbi…
Biarlah kutautkan
untaian rinduku dalam munajat
Hingga Engkau
kirimkan untukku seorang ‘malaikat’…”
Malam masih sunyi.
Dengkuran serangga malam masih bernyanyi. Sayup-sayup kudengar lantunan ayat
suci. Membuatku terjaga dari indahnya mimpi. Hmm…rupanya Emak sedang mengaji.
“Alhamdulillaahilladzii
ahyanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihin-nusyuur.”
Segala puji bagi
Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami
akan dibangkitkan. (HR Bukhari)
Segera kubangkit
dari pembaringan. Mensucikan diri untuk menghadap Sang Maha Rahmaan. Namun baru
delapan raka’at kutunaikan, Emak sudah bersiap-siap membuat adonan. Aku pun
bergegas membantu segala persiapan.
“Sudah selesai
witir, Nak?” tanya Emak.
“Belum, Mak. Nanti
aja menjelang shubuh..” sahutku seraya mengambil sesisir pisang.
Tangan Emak mulai
menari di atas adonan, sementara aku menyiapkan pisangnya. Rutinitas biasa
setiap dini hari dalam keluarga kami. Membuat molen pisang untuk dijajakan ke
warung-warung dan pasar.
“Kakakmu menelpon
Emak semalam, katanya dia belum bisa pulang akhir pekan ini.” Ujar Emak
menyampaikan kabar dari Kak Kamal di Tanggerang.
“Hmm..padahal Milah
pengen curhat sama Kak Kamal. Tapi ya sudahlah, mudah-mudahan Kak Kamal cepet
gajian biar bisa pulang.” sahutku.
“Kamu ini…Kakakmu
itu sudah tentu punya urusannya sendiri. Enggak usah dibebani lagi sama
masalah-masalah kita disini. Curhat saja sama Emakmu ini, sama aja kan?” ucap
Emak mengingatkan.
“Mak, Milah pengen
nikah, Mak. Tapi…” ucapku terhenti karena ragu dini hari itu.
Ayunan tangan Emak
di atas adonan molen pun turut terhenti. Perlahan matanya tertuju ke arahku
yang sedan mengupas dan memotong beberapa pisang. Ia menatapku dalam-dalam.
Senyum simpul terbias di tepi bibir mulianya, seraya menghela nafas panjang.
“Jamilah…Emak ngerti
perasaan kamu, Nak. Almarhum bapakmu pasti senang mendengarnya. Tapi…untuk saat
ini, Emak belum sanggup bantuin kamu nikah. Lagian Kak Kamal juga belum nikah.”
Sahut Emak meminta pengertianku.
“Iya Mak…Milah juga
ngerti keadaan kita. Lagian kalo Milah nikah, nanti siapa yang bantuin Emak
bikin molen pisang. Milah cuma minta ridha’ Emak dulu. Siapa tahu kalo Emak
udah ridha’, Allah ngasih jodoh dan rizqinya buat Milah.” ujarku menenangkan
Emak.
“InsyaAllah, Emak
ridha’. Mudah-mudahan ada rizqi dan jodohnya. Udah witir dulu sana. Mumpung
belum shubuh.” ujar Emak seraya melanjutkan pekerjaannya.
Akupun segera
mengganjilkan rangkaian shalat malamku. Hingga tiba waktu shubuh.
***
Malam itu selepas
‘Isya…
"Mak, dosa gak
yah, Milah mencintai keshalihannya?" tanyaku malu-malu.
"Kalo sekedar
rasa , insyaAllah tidak dosa. Memang siapa laki-laki itu, Milah?" Emak
balik bertanya.
"Mmm.. Ustadz
Adnan, Mak.." ungkapku ragu.
"Adnan? Adnan
teman Kakakmu itu?" tanya Emak terkejut.
"Iya
Mak.."
"Adnan putra
keluarga almarhum H. Imran itu?"
"Betul
Mak.."
"Maasyaa Allah,
Milah.. Istighfar, Nak..!
Nak Adnan itu kan
baru menikah dua minggu yang lalu.
Mereka juga keluarga
terpandang di kampung kita, enggak kayak kita.
Apa gak ada lagi
'Adnan' yang lain?"
"Tapi Mak..
Milah ridha kok jadi istri keduanya.."
"Jamilah,
poligami memang Allah perintahkan, tapi gak sembarangan.
Kalau kamu ridha
jadi istri keduanya, lalu bagaimana perasaan istri pertamanya?
Kalau kamu jadi
istri pertamanya, apa kamu juga masih ridha suamimu menikah lagi..?"
Seketika itu rasa
sesak memenuhi rongga dadaku. Padahal Ustadz Adnan pilihan terbaik menurutku,
bahkan sebelum ia menikah. Setiap istikharahku nama Ustadz Adnan selalu hadir
dalam benakku. Kecenderungan itu kuat aku rasakan, “Diakah jodohku, Ya Rabb?
Meskipun dia sudah menikah?”. Tetapi Emak tak setuju atas keinginanku.
Usai berbicara sama
Emak, aku mengurung diri di kamar. Menahan sesak di dalam dada, menahan pilu di
dasar qalbu. Terdiam di sudut kamarku, seraya menjamahkan pandangan ke seisi
kamarku. Pandanganku terhenti pada sebuah biola yang terpaku di dinding kamarku.
Hadiah dari Abah atas prestasiku kala itu. Telah lama ia tak kusentuh dan
membisu.
Entah kekuatan dari
mana, perlahan aku menghampirinya. Meraihnya dan mulai memainkannya.
Dawai-dawai biolaku melantunkan senandung rindu. Mewakili lantunan dawai-dawai
rindu di qalbu. Akankah dawai-dawai rindu dihatiku terlantun syahdu? Siapakah
yang mampu menggetarkan dawai-dawai rinduku?
“Wahai Dzat
Penggenggam Hati
Jika kecenderungan
ini adalah hasrat sanubari
Kumohon jauhkan aku
dari keburukannya
Tetapi jika hasrat
ini adalah hasrat nurani
Kumohon sampaikan
aku pada kebaikannya
Wahai Dzat Penguasa
Hati
Jangan Engkau bebani
hatiku melebihi batas mampuku
Jangan Engkau
tanamkan rasa ini melebihi batas cintaku pada-Mu
Maafkan aku yang
telah mengharapkannya
Ampuni aku yang
telah menginginkannya…”
***
“Assalaamu’alaikum,
Mak..” suara seseorang di depan rumah, diiringi ketuk pintu.
“Siapa itu, Milah?
Shubuh-shubuh gini udah bertamu…” sahut Emak.
“Milah, lihat dulu
ya Mak…” ujarku seraya bergegas menuju pintu.
Sebelum aku membuka
pintu, aku memeriksa di balik tirai jendela untuk memastikan siapa yang datang.
Ah..rupanya Mang Ujang, petugas keamanan di kampung ini.
“Wa’alaikumsalaam,
ada apa Mang? Emak masih di dapur…”
“Oh..tolong kasih
tau Emak, minta bantuannya buat urusin jenazah wanita..”
“Memang siap yang
meninggal Mang?”
“Itu…penganten baru,
Mbak Azkiyya. Istrinya Ustadz Adnan. Tapi almarhumah masih di perjalanan lagi
ke mari, dari rumah sakit.”
“Innalillaahi wa
innaa ilaihi raaji’uun..” aku dan Emak terhenyak. Seakan mendengar gelegar
halilintar.
Kami bergegas
menyiapkan perlengkapan jenazah. Perlengkapan yang memang khusus disediakan
dari dana kematian RW. Dengan segera kami tinggalkan rumah. Membelah fajar
ba’da shubuh, menuju kediaman almarhumah. Sesampainya di sana, sebuah ambulance
baru saja tiba. Satu persatu keluar dari pintu belakang ambulance, hingga
jenazah di angkut ke dalam rumah.
Dengan deraian rasa
bersalahku, aku membantu Emak mengukur dan memotong kain kafan. Sementara yang
lain menyiapkan pemandian. Diam-diam ku perhatikan wajah almarhumah. Semburat
senyum perlahan menghias di bibirnya. Seolah mengabarkan pada kita semua bahwa
ia telah melihat istananya di surga. Keringat lembut pun mengembun disekitar
keningnya. Pertanda syahid di akhir hayatnya. Subhanallah..?!
Rupanya sebuah virus
telah menyerang almarhumah sejak lama. Virus Lupus telah menghabiskan kedua
buah ginjalnya. Hingga kondisi tubuhnya tak memungkinkan bertahan hidup tanpa
kedua ginjalnya. “Ya Allah, kasihan sekali Mbak Kiyya. Semoga sakitnya ini sebagai
penebus dosa-dosanya.” lirihku membatin.
Sangat jelas
kusaksikan, ada duka meliputi seluruh keluarganya hari itu. Aku tak mengira
jodoh mereka sesingkat itu. Dan tak mungkin aku bahagia di atas duka Ustadz
Adnan yang kehilangan istri tercintanya. Dukanya seakan-akan menjadi dukaku.
Rasa kehilangan itu sangat kuat memilukan rasa di hatiku.
Namun ada rasa
bersalah yang tak beralasan. Rasa bersalah karena sebuah harapan. Untuk hadir
ditengah-tengah kebahagiaan mereka. Ingin menjadi pelengkap dalam bingkai surga
mereka. Mungkin memang lebih baik aku tak hadir diantara mereka. Karena mungkin
aku tak layak mendampingi kebersamaan mereka. Hingga hanya tangis dan do’aku
yang teriring untuk mereka.
***
Sebulan telah
berlalu sejak itu. Kecenderungan dalam istikharahku semakin kuat merasuk qalbu.
Aku kembali mengutarakan niatku pada Emak. Sebisaku, tanpa sedikitpun bermaksud
menyinggung perasaannya.
“Emak ngerti, Milah.
Mungkin Allah memang menyiapkan kamu untuk menggantikan almarhumah. Kita tunggu
Kakakmu pulang besok, ya? Mudah-mudahan Kak Kamal bisa bantu..”
Sebulan sekali Kak
Kamal pulang dari Tanggerang. Sekedar istirahat melepas penat dari pekerjaannya
di sana. Terakhir pulang, di hari wafatnya almarhumah istri teman dekatnya
sendiri, bulan lalu. Ingin ku utarakan isi hatiku saat itu. Namun mengingat
keadaan sepertinya tidak memungkinkan.
Keesokannya, Kak
Kamal pulang menjelang ‘Isya. Masih cukup waktu untuknya bersiap-siap shalat
berjama’ah di masjid. Selepas ‘Isya, kami bertiga berkumpul. Berbicara melepas
rindu, membicarakan keadaan kami di sini, juga keadaan Kak Kamal selama di
sana. Hingga akhirnya, Emak menyampaikan pada Kak Kamal, bahwa aku sudah lama
ingin menikah dengan teman dekatnya, Ustadz Adnan.
“Subhanallah..
Sebelum bertemu dan menikahi istrinya, Adnan pernah menanyakan tentang kamu,
Milah. Tapi waktu itu Kakak menyarankan supaya Adnan istikharah dulu. Kalau dia
sudah mantap, Kakak baru akan menyampaikannya padamu..” sahut Kak Kamal
menerangkan.
“Dan ternyata, Allah
memilihkan Mbak Azkiyya. Apa karena Milah tidak sekufu atau belum layak?”
tanyaku.
“Bukan..” sahut
Emak. “Tapi karena Allah lebih tau, itu yang terbaik bagi semuanya.” lanjutnya.
“Betul, Mak.. Allah
bermaksud menghibur Azkiyya di akhir masa hidupnya dengan kehadiran Adnan.
Karena Allah tahu, hanya Adnan yang sanggup shabar menerima ujian seperti itu.
Dan untuk Adnan, tentu Allah telah meyiapkan pelipur laranya, pelepas
dahaganya. Dan semoga wanita itu adalah kamu, Milah..” ujar Kak Kamal
menyejukkan qalbu.
“Insya Allah, besok
Kakak shilaturrahim ke sana, dan membicarakan hal ini padanya.” lanjutnya
mengakhiri pembicaraan malam itu.
Hingga keesokan
harinya, Ustadz Adnan disertai beberapa kerabatnya berdatangan ke rumah, untuk
melaksanakan prosesi khitbah. Sebulan kemudian kami pun melangsungkan akad
nikah, dengan hidangan sederhana. Sedangkan walimatul ‘ursy (resepsi) nya,
diselenggarakan tiga bulan sesudahnya.
“Lantunan rindu
telah mengalun syahdu di qalbu
Hadirmu getarkan
dawai - dawai rindu di hatiku
Duhai 'malaikat'ku..
Bimbing aku menjadi
bidadari surgamu
Pelepas dahaga dalam
hausmu
Pelipur lara dalam
duka asmaramu
Duhai 'penjaga
hati'ku..
Rebahkan segala
gundahmu di dadaku
Sandarkan lelahmu di
bahuku
Agar engkau tentram
bersamaku
Agar engkau tahu
bahwa aku hanya untukmu.."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar