Larik-larik benang perak pun teruntai dari langit. Rinainya berjatuhan
menyapa bumi setengah sengit. Lembut kecupannya sejukkan wajah bumi
yang kian menyempit. Riuh nyanyian tangisnya melelapkan bumi tanpa
berkelit.
Namun hatiku laksana pohon yang mengering di musim gugur. Sementara, ia
tak akan tumbuh dengan subur. Ia takkan menumbuhkan rimbun daunnya dan
indah bunganya. Hingga musim semi tiba untuk ketiga kalinya.
Hujan sepanjang perjalanan Surabaya – Bandung semalam, masih menyisakan
jejaknya pagi ini. Halus kabut menyambut kedatanganku di Kota Kembang
ini. Namun tak cukup lama bagi mereka menyelimuti pagi. Ketika mentari
perlahan mulai berseri.
Sesampainya di depan gedung sekolah SLTA ku dulu, kontan saja ingatanku
terbawa pada masa-masa sekolahku tiga tahun lalu. Rasanya baru kemarin
aku meninggalkan salah satu gedung bangunan zaman Belanda ini. Karena
belum banyak mengalami perubahan, selain cat gerbangnya yang nampak
masih baru.
“Peserta reuni ya, Mbak?” sambut seorang petugas di depan pos keamanan sekolah.
“Iya, Pak..” jawabku pada petugas keamanan yang nampak asing bagiku. Mungkin memang petugas baru.
“Tapi registrasi acaranya masih sejam lagi, Mbak..!” ujarnya
“Betul, Pak! Saya sengaja datang lebih awal dari Surabaya. Pengen keliling, liat-liat sekolah dulu..”
“Wah..dari Surabaya ya? Silakan, Mbak..” jawabnya mempersilakanku masuk ke gedung sekolah.
Setelah berterimakasih padanya, aku pun segera melangkahkan kaki menuju
gerbang utama. Setelah melewati gerbang utama, aku menyusuri koridor
yang memisahkan antara ruang tata usaha di sebelah kananku, dan ruang
guru di samping kiriku. Namun tak satu pun pintu di antara keduanya
terbuka. Mungkin karena libur panjang, fikirku.
Keluar dari koridor, secara spontan aku langsung belok kanan. Memang
sudah menjadi kebiasaanku selama tiga tahun di sekolah ini. Karena
setiap pagi sebelum menuju kelas, aku selalu mampir ke ruang OSIS yang
berada di pojok kanan jalur ini. Ruang yang menjadi tempat favoriteku,
tempat dimana aku menyimpan banyak kenangan di sekolah ini.
Sambil berjalan menuju ruang OSIS, pandanganku melayang ke sekitar
lapangan di arah kiriku. Taman-tamannya masih seperti dulu.
Pohon-pohonnya pun masih berdiri seperti waktu itu. Dari kejauhan aku
melihat ada beberapa orang yang keluar masuk ruang OSIS, mereka pasti
anggota OSIS, sekaligus panitia reuni kali ini.
Langkahku pun surut menuju ruang favoriteku itu, khawatir mengganggu
panitia. Beberapa meter sebelum ruang OSIS, tatapanku tertuju pada
sebuah pohon bougenvile. Ah..bangku dibawahnya masih sama seperti dulu.
Dengan menuruni beberapa anak tangga, segera kuhampiri dan kuhempaskan
tubuhku dibangku itu, sekaligus melepas lelah setelah perjalanan
panjang semalam. Hmm..masih senyaman dulu. Setiap istirahat atau
sepulang sekolah, tempat inilah yang menjadi labuhanku.
Hangat senyum mentari dan lembut angin musim semi menyapaku di bawah
pohon itu. Sang pohon pun riuh menggoyangkan dahan dan daunnya
menyambutku. Hingga sebagian bunganya yang merah muda berjatuhan di
pangkuan dan sekitarku. Seakan-akan mereka tahu, bahwa Melati yang dulu
telah kembali.
***
Masih kuat kuingat tahun pertama sekolah di sini. Mulai dari Masa
Orientasi Siswa, memasuki kelas pertama, hingga aktifitasku di OSIS dan
rohis Al Iqra sekolah ini. Memang aneh, waktu itu aku belum mengenakan
jilbab tapi aku ingin sekali ikut serta dalam kegiatan rohis.
Setidaknya, dengan ikut aktif di kegiatan rohis, ada motivasi dalam
diriku untuk mulai mengenakan jilbab.
Namun bukan hanya itu, alasan utamanya cukup konyol, hanya karena
presentasi dari ketua rohis masa itu, Kang Luthfi. Kakak kelas tingkat
dua, sedangkan aku baru tingkat satu. Lembut sikap dan tutur katanya,
membuatku terpesona. Artikel-artikelnya tentang remaja Islam di mading
sekolah, cukup banyak menarik perhatian para siswa terlebih lagi kaum
hawa.
Meskipun aku aktif di rohis Al Iqra, aku tetap tidak bisa mendekati
sosok Kang Luthfi. Pasalnya, rutinitas rohis ikhwan dan akhwat
terpisah. Hanya dalam program-program tertentu saja seperti peringatan
hari besar Islam, rohis ikhwan dan akhwat bekerjasama. Tentu saja
mereka para senior lebih mendominasi program, sementara aku dan anggota
se-angkatan lainnya hanya sebagai pelaksana.
Suatu ketika, sepulang sekolah ada undangan rapat yang melibatkan semua
anggota rohis dan tentunya OSIS. Rupanya, ketua OSIS yang baru
dilantik meminta dua orang anggota rohis untuk mengisi jabatan Ketua
dan Wakil Ketua SekBid I di pengurus OSIS. Setelah dimusyawarahkan,
hasilnya cukup mengejutkan. Kang Luthfi terpilih menjadi ketua SekBid
I, dan Wakil Ketuanya terpilihlah aku. Entah kenapa aku yang terpilih.
Tapi aku senang sekali, setidaknya akan ada alasan bagiku untuk mulai
mendekati Kang Luthfi.
Meski Kang Luthfi terkenal supel, suka bercanda dengan sesama ikhwan.
Namun ia boleh dibilang ‘jaim’ jika dihampiri akhwat di sekolah. Tidak
banyak tingkah, bahkan bicara pun seperlunya. Hmm..sesuatu yang
mebuatku semakin penasaran untuk lebih mendekatinya.
Sampai suatu hari selepas kegiatan rohis, sebelum pulang aku mampir ke
ruang OSIS. Tak ada seorangpun di sana. Hanya beberapa tas yang masih
teronggok di meja sekretaris. Tiba-tiba Kang Luthfi datang dan
mengambil tasnya.
“Pulangnya ke mana, Kak?” sapaku mencoba mencairkan suasana.
“Ke rumah..?! Duluan ya, Mel..! Assalaamu’alaikum..” sambil berlalu pergi.
“Hhah..? Ke rumah? Ya…aku tahu dia pulang ke rumah. Tapi maksud
pertanyaanku tadi rumahnya di mana? Nyebelin banget sih..” ungkap
batinku setelah menjawab salamnya.
Berkali-kali aku mencoba menyapa, namun jawabannya tetap sama. Singkat,
tanpa penjelasan, dan segera berlalu. Seperti itu dan selalu begitu.
Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak menyapanya sebelum dia
menyapaku terlebih dahulu.
Sikapku bisa kukendalikan, tetapi rasa di hati tak bisa kutahan. Hingga
suatu malam kutuangkan rasa itu dalam sebuah surat (maklum, waktu itu
belum musim handphone untuk anak sekolah). Diam-diam aku akan memasukkan
surat ini ke dalam tasnya di ruang OSIS besok.
Usai jam pelajaran sekolah aku segera menuju ruang OSIS. Untuk
mengintai dimana Kang Luthfi menyimpan tasnya. Namun tanpa kusadari,
Yuli sahabat sekelasku sesama pengurus OSIS, membuntutiku.
“Melati, boleh minta tolong gak?” ujarnya padaku dengan merendahkan suaranya.
“Minta tolong apa, Yul? InsyaAllah Melati bantu, kalau mampu..” jawabku sedikit heran.
“Cuma mau nitip ini. Kayaknya cuma Melati yang bisa ngasihin ini ke
Kang Luthfi.” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop, bermotif bunga
kekuning-kuningan.
“Ya Allah.. Yuli, apaan ini?” tanyaku terkejut.
“Cuma salam shilaturrahim aja kok.. Tolong ya, Mel..?” jawabnya seraya memelas.
Kontan saja keringat dingin menyerang sekujur ragaku. Ternyata bukan
hanya aku, Yuli pun menulis surat untuk Kang Luthfi. Aku jadi
bingung..haruskah kusampaikan juga surat ini pada Kang Luthfi? Atau
cukup suratku saja? Belum habis kebingunganku, Yuli segera pamit
sedangkan aku tetap menuju ruang OSIS.
Masih dalam kerisauanku, aku termenung di salah satu kursi ruang OSIS.
Tatapan kosongku tertuju ke arah lantai dekat pintu. Hingga datanglah
sosok Kang Luthfi memasuki ruang OSIS seraya mengucap salam. Kujawab
salamnya, dengan menampakkan keterkejutanku. Reflek kusembunyikan
amplop titipan Yuli di balik tubuhku dengan kedua tangan.
“Tumben ke sini dulu? Keputrian lagi gak ada kegiatan ya?” sapanya seraya menyimpan tas di tempat biasa.
Belum kujawab pertanyaannya, dahi Kang Luthfi mengkerut melihat wajah terkejutku.
“Kamu baik-baik aja? Wajah kamu pucet, Mel.. Sakit?” lanjutnya seraya menduduki meja di dekatku.
“Ng..nggak apa-apa Kang.. Saya baik-baik aja..” jawabku gugup seraya bangkit dari tempat duduk dan mengangkat tasku.
Ceroboh, gara-gara gugup aku ceroboh. Amplop titipan Yuli terjatuh
tepat dihadapan Kang Luthfi. Seakan ragaku terpaku, tak dapat segera
kusambar amplop itu. Justru dialah yang mengambilkannya untukku. Sebelum
diserahkannya padaku, dia sempat membaca bagian depan amplop itu.
“Teruntuk, Kang Luthfi..??” bacanya heran.
“Buat saya ya?” lanjutnya seraya menyobek bagian pinggir amplopnya.
Lisanku seakan kelu, ragaku serasa membeku. Tak ada yang dapat
kukatakan, tak ada yang bisa kulakukan. Selain menutupi sekitar bibir
dengan kedua tanganku. Rasa cemas dan takut mulai menyelimutiku, saat
Kang Luthfi mulai membaca isinya. Tanganku berkeringat dingin, jilbabku
serasa menggerahkan, dan…
“Oh..kirain Melati yang nulis ini..” ujarnya setelah selesai membaca semua isinya.
“Bukan, Kang..” hanya itu yang keluar dari lisanku, dan segera aku beranjak dari ruang yang mulai terasa menyesakkan itu.
“Tunggu, Mel..” sahutnya menghentikan langkahku.
“Kalau ada waktu, saya mau bicara. Enggak sekarang juga gak apa-apa..” lanjutnya.
Aku menyepakati, meski entah apa yang akan dibicarakannya. Tapi mungkin
itulah saatnya bagiku untuk langsung bicara padanya. Tepatnya seusai
rapat kordinasi pengurus OSIS, dibawah pohon bougenvile inilah kami
bicara. Kami duduk di bangku ini dengan dibatasi kedua buah tas kami.
“Kalau boleh jujur..sebelum Yuli, masih ada akhwat-akhwat lain yang
pernah nulis surat yang serupa..” ujar Kang Luthfi membuka percakapan
siang itu.
“Akhwat-akhwat yang saya anggap teman, bahkan sahabat, tetapi malah
timbul fitnah di antara kami. Dan saya lebih memilih menjauhi mereka,
karena khawatir terjadi fitnah yang lebih besar lagi. Lagian, saya
bukan siapa-siapa. Hanya manusia biasa yang tak bisa memberi sedikitpun
rizqi bagi diri sendiri, apalagi untuk mereka. Saya malu sama Allah,
jika hati dan fikiran saya nanti terkuras untuk mereka, ataupun
sebaliknya..” tambahnya.
“Apa kita gak boleh memiliki perasaan seperti itu, Kak?” sahutku.
“Memang perasaan itu fitrah kita sebagai manusia, tapi bukan berarti
kita harus mengikuti hawa nafsu kita. Kita kan punya Quran sebagai
pedoman, ‘Wa laa tattabi’ ahwaa ahum’ (Dan janganlah kalian mengikuti
hawa nafsu kalian)…”
“Seandainya mereka berharap dinikahi, bagaimana?” tanyaku ingin tahu.
“Lain halnya kalau mereka menawarkan diri untuk dinikahi. Syari’at pun
membolehkan. Tapi masih lama kali ya.. Sekolah aja belum lulus..”
ujarnya dengan senyum simpul.
Setelah perbincangan itu, rasanya aku harus mengurungkan niat
menyerahkan suratku kali ini. Apalagi mengungkapkan langsung pada Kang
Luthfi. “Karena aku Melati, bukan mereka ..” batinku menyemangati.
Hingga tiba harinya nanti, akulah yang akan menawarkan diri.
***
Semua kenangan itu rasanya masih hangat diingatanku. Bahkan atmosfernya
masih kuat kurasakan. Hanya dua tahun, aku bisa bersahabat dekat
dengan Kang Luthfi. Karena Kang Luthfi lulus setahun lebih awal dariku.
Setelah lulus, Kang Luthfi melanjutkan studinya di IPB Bogor. Setahun
kemudian aku lulus dan melanjutkan kuliah di UNAIR Surabaya. Sejak itu,
kami kehilangan komunikasi. Sejak itu pula aku mulai menjaga hati dari
sembarang lelaki. Karena ada harapan suci di hati yang masih tersimpan
hingga kini.
Tiga tahun telah kulalui. Tiga kali musim semi sudah berganti. Saatnya
aku membuka jendela hati. Menyambut mentari yang kan singgah di
sanubari. Layaknya melati yang kembali bersemi. Meski hujan dan panas
menyapa bumi. Meski ia tak hinggap di dahannya lagi. Ia kan tetap
menebarkan wangi.
Mungkin di reuni inilah kesempatanku untuk menawarkan diri pada Kang
Luthfi. Sosok ikhwan yang masih dapat kuingat setiap pesonanya. Masih
tersimpan wangi khasnya yang sempat ia titipkan. Mmh..aroma khas
melatinya masih terasa tajam di penciuman. Ya..aroma wanginya masih
bisa kucium dengan kuat. Sangat kuat dan semakin kuat. Seakan wanginya
terasa nyata, dan semakin nyata.
“Assalaamu’alaikum, Mel..” sapa seorang wanita dari arah belakangku.
“Wa’alaikum salaam.. Yuli..?!” jawabku tersentak setelah membalikkan tubuhku ke sumber suara itu.
Setelah bersalaman, berpelukan, serta cium pipi kanan dan kiri. Aku
merasa ada yang janggal dengan Yuli. Perutnya nampak besar sekali. Dia
pun tak datang sendiri. Dia didampingi sosok ikhwan yang tak asing lagi.
Di musim semi ini, ada pilu menyayat kalbu. Selaksa embun di pelupuk
mata mulai mengabuti pandanganku. Sesuatu seakan membakar jantungku.
Memicu deras aliran darahku. Bangkitkan sesak memenuhi seisi dadaku,
hingga mendesak tenggorokanku.
“Kalian sudah menikah ya?” sahutku haru.
“Alhamdulillah.. Ini yang pertama, jalan sembilan bulan..” jawab Yuli seraya menunjukkan kehamilannya.
“Baarakallahu lakuma wa baaraka ‘alaikuma, wa jama’a baina kuma fii
khair..” ucapku seraya kembali memeluk Yuli, seiring lelehan hangat yang
melintasi pipiku.
“Cukup lama kunantikan suatu masa
Masa tuk ungkapkan kejujuran rasa
Rasa yang kian membuncah di setiap asa
Asa tuk bersama dalam samudra surga
Namun beginikah sakitnya menahan perih?
Perihnya hati yang tertusuk rindu?
Rindunya hati yang terbakar cemburu?
Cemburunya hatiku pada dia dan sahabatku..?”
Sejatinya aku turut bahagia atas kebersamaan mereka. Meski tak
kupungkiri hatiku diremas duka. Tak mampu kutahan lagi bulir-bulir
bahagia bercampur duka. Rindu yang telah lama mengendap di kalbu, kini
hanyalah sepenggal rasa yang takkan kunjung berpadu.
Memang salahku yang berharap pada kekuatan rasaku. Karena sepatutnya
aku berharap hanya pada Rabbku. “Wa ilaa Rabbika farghab” (Dan hanya
pada Rabbmu lah engkau berharap).
“Kan kupetik setangkai demi setangkai rindu dari hatiku
Hingga ia terkumpul berbaur dalam nampan cinta Rabbku
Biarlah ia menjadi pewangi di setiap malam-malam sendiriku
Menjadi penghias dalam syahdunya munajat rinduku..”
Taken from: https://www.facebook.com/BilaHatiRinduMenikah?ref=stream&filter=1