Jumat, 17 Agustus 2012

Doa Para Akhwat yang sangat merindukan datangnya seorang pendamping…


Bismillahirrahmanirrahim..

Tuhanku…
Aku berdo’a untuk seorang pria yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu

Wajah tampan dan daya tarik fisik tidaklah penting
Yang penting adalah sebuah hati yang sungguh mencintai dan dekat dengan Engkau
dan berusaha menjadikan sifat-sifatMu ada pada dirinya
Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup sehingga hidupnya tidaklah sia-sia

Seseorang yang memiliki hati yang bijak tidak hanya otak yang cerdas
Seorang pria yang tidak hanya mencintaiku tapi juga menghormatiku
Seorang pria yang tidak hanya memujaku tetapi juga dapat menasihatiku ketika aku berbuat salah

Seseorang yang mencintaiku bukan karena kecantikanku tapi karena hatiku
Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam setiap waktu dan situasi
Seseorang yang dapat membuatku merasa sebagai seorang wanita ketika aku di sisinya

Tuhanku… Aku tidak meminta seseorang yang sempurna namun aku meminta seseorang yang tidak sempurna, sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu
Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya Seorang pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya Seseorang yang membutuhkan senyumku untuk mengatasi kesedihannya Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna

Tuhanku…
Aku juga meminta,
Buatlah aku menjadi wanita yang dapat membuatnya bangga Berikan aku hati yang sungguh mencintaiMu sehingga aku dapat mencintainya dengan sekedar cintaku

Berikanlah sifat yang lembut sehingga kecantikanku datang dariMu
Berikanlah aku tangan sehingga aku selalu mampu berdoa untuknya
Berikanlah aku penglihatan sehingga aku dapat melihat banyak hal baik dan bukan hal buruk dalam dirinya
Berikanlah aku lisan yang penuh dengan kata-kata bijaksana,
mampu memberikan semangat serta mendukungnya setiap saat dan tersenyum untuk dirinya setiap pagi

Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan:
“Betapa Maha Besarnya Engkau karena telah memberikan kepadaku pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna.”

Aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami bertemu pada waktu yang tepat
Dan Engkau akan membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang telah Engkau tentukan

Aamin…. : )

(¯`v´¯)♥ Aamiin ya Robbal 'alamiin ♥ (¯`v´¯)
♥♥♥…….…….……...♥ •.¸.•´♥………….…♥♥♥
♥♥♥───────────────█─█──────♥♥♥
♥♥♥──────████──█──█─█──────♥♥♥
♥♥♥──────█──█──█──█─█──────♥♥♥
♥♥♥──────████──█──█─█──────♥♥♥
♥♥♥─────────███████─█──────♥♥♥

`·.¸.·`(´'`v´'`)♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥(´'` v´'`)`·.¸.·`
...♥♥..♥`•.¸.•´(¯`v´¯)(¯`v´¯)`•.¸.•´♥..♥♥...


`*•.¸¸.•*✿Menebar Senyum & Dakwah Merajut Ukhuwah `*•.¸¸.•*✿
 
 https://www.facebook.com/pages/Ketika-Rindu-Ini-Bertahta-Di-Hati-Menantimu/180299955382871?filter=1

 

Senin, 13 Agustus 2012

“Dawai - Dawai Rindu”


Pernah kutatapi satu bintang di sana
Seraya berharap dia pun menatapnya
Lalu kuteteskan pilunya rindu menusuk qalbu
Seraya berucap,
“Wahai Bintang…
Sampaikan padanya dimanapun ia berada
Bahwa aku masih merindukannya”

Namun jauh kini kusadari
Bahwa semua itu tiada arti
Hanya menyia-nyiakan diri
Yang tak pernah memberi arti

“Ya Rabbi…
Semestinya pada-Mu aku berharap
Bukan pada makhluq-Mu aku meratap
Ya Rabbi…
Biarlah kutautkan untaian rinduku dalam munajat
Hingga Engkau kirimkan untukku seorang ‘malaikat’…”

Malam masih sunyi. Dengkuran serangga malam masih bernyanyi. Sayup-sayup kudengar lantunan ayat suci. Membuatku terjaga dari indahnya mimpi. Hmm…rupanya Emak sedang mengaji.

“Alhamdulillaahilladzii ahyanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihin-nusyuur.”
Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami akan dibangkitkan. (HR Bukhari)

Segera kubangkit dari pembaringan. Mensucikan diri untuk menghadap Sang Maha Rahmaan. Namun baru delapan raka’at kutunaikan, Emak sudah bersiap-siap membuat adonan. Aku pun bergegas membantu segala persiapan.

“Sudah selesai witir, Nak?” tanya Emak.
“Belum, Mak. Nanti aja menjelang shubuh..” sahutku seraya mengambil sesisir pisang.

Tangan Emak mulai menari di atas adonan, sementara aku menyiapkan pisangnya. Rutinitas biasa setiap dini hari dalam keluarga kami. Membuat molen pisang untuk dijajakan ke warung-warung dan pasar.

“Kakakmu menelpon Emak semalam, katanya dia belum bisa pulang akhir pekan ini.” Ujar Emak menyampaikan kabar dari Kak Kamal di Tanggerang.
“Hmm..padahal Milah pengen curhat sama Kak Kamal. Tapi ya sudahlah, mudah-mudahan Kak Kamal cepet gajian biar bisa pulang.” sahutku.

“Kamu ini…Kakakmu itu sudah tentu punya urusannya sendiri. Enggak usah dibebani lagi sama masalah-masalah kita disini. Curhat saja sama Emakmu ini, sama aja kan?” ucap Emak mengingatkan.
“Mak, Milah pengen nikah, Mak. Tapi…” ucapku terhenti karena ragu dini hari itu.

Ayunan tangan Emak di atas adonan molen pun turut terhenti. Perlahan matanya tertuju ke arahku yang sedan mengupas dan memotong beberapa pisang. Ia menatapku dalam-dalam. Senyum simpul terbias di tepi bibir mulianya, seraya menghela nafas panjang.

“Jamilah…Emak ngerti perasaan kamu, Nak. Almarhum bapakmu pasti senang mendengarnya. Tapi…untuk saat ini, Emak belum sanggup bantuin kamu nikah. Lagian Kak Kamal juga belum nikah.” Sahut Emak meminta pengertianku.

“Iya Mak…Milah juga ngerti keadaan kita. Lagian kalo Milah nikah, nanti siapa yang bantuin Emak bikin molen pisang. Milah cuma minta ridha’ Emak dulu. Siapa tahu kalo Emak udah ridha’, Allah ngasih jodoh dan rizqinya buat Milah.” ujarku menenangkan Emak.

“InsyaAllah, Emak ridha’. Mudah-mudahan ada rizqi dan jodohnya. Udah witir dulu sana. Mumpung belum shubuh.” ujar Emak seraya melanjutkan pekerjaannya.

Akupun segera mengganjilkan rangkaian shalat malamku. Hingga tiba waktu shubuh.

***

Malam itu selepas ‘Isya…

"Mak, dosa gak yah, Milah mencintai keshalihannya?" tanyaku malu-malu.
"Kalo sekedar rasa , insyaAllah tidak dosa. Memang siapa laki-laki itu, Milah?" Emak balik bertanya.

"Mmm.. Ustadz Adnan, Mak.." ungkapku ragu.
"Adnan? Adnan teman Kakakmu itu?" tanya Emak terkejut.
"Iya Mak.."
"Adnan putra keluarga almarhum H. Imran itu?"
"Betul Mak.."

"Maasyaa Allah, Milah.. Istighfar, Nak..!
Nak Adnan itu kan baru menikah dua minggu yang lalu.
Mereka juga keluarga terpandang di kampung kita, enggak kayak kita.
Apa gak ada lagi 'Adnan' yang lain?"
"Tapi Mak.. Milah ridha kok jadi istri keduanya.."

"Jamilah, poligami memang Allah perintahkan, tapi gak sembarangan.
Kalau kamu ridha jadi istri keduanya, lalu bagaimana perasaan istri pertamanya?
Kalau kamu jadi istri pertamanya, apa kamu juga masih ridha suamimu menikah lagi..?"

Seketika itu rasa sesak memenuhi rongga dadaku. Padahal Ustadz Adnan pilihan terbaik menurutku, bahkan sebelum ia menikah. Setiap istikharahku nama Ustadz Adnan selalu hadir dalam benakku. Kecenderungan itu kuat aku rasakan, “Diakah jodohku, Ya Rabb? Meskipun dia sudah menikah?”. Tetapi Emak tak setuju atas keinginanku.

Usai berbicara sama Emak, aku mengurung diri di kamar. Menahan sesak di dalam dada, menahan pilu di dasar qalbu. Terdiam di sudut kamarku, seraya menjamahkan pandangan ke seisi kamarku. Pandanganku terhenti pada sebuah biola yang terpaku di dinding kamarku. Hadiah dari Abah atas prestasiku kala itu. Telah lama ia tak kusentuh dan membisu.

Entah kekuatan dari mana, perlahan aku menghampirinya. Meraihnya dan mulai memainkannya. Dawai-dawai biolaku melantunkan senandung rindu. Mewakili lantunan dawai-dawai rindu di qalbu. Akankah dawai-dawai rindu dihatiku terlantun syahdu? Siapakah yang mampu menggetarkan dawai-dawai rinduku?

“Wahai Dzat Penggenggam Hati
Jika kecenderungan ini adalah hasrat sanubari
Kumohon jauhkan aku dari keburukannya
Tetapi jika hasrat ini adalah hasrat nurani
Kumohon sampaikan aku pada kebaikannya

Wahai Dzat Penguasa Hati
Jangan Engkau bebani hatiku melebihi batas mampuku
Jangan Engkau tanamkan rasa ini melebihi batas cintaku pada-Mu

Maafkan aku yang telah mengharapkannya
Ampuni aku yang telah menginginkannya…”

***

“Assalaamu’alaikum, Mak..” suara seseorang di depan rumah, diiringi ketuk pintu.
“Siapa itu, Milah? Shubuh-shubuh gini udah bertamu…” sahut Emak.
“Milah, lihat dulu ya Mak…” ujarku seraya bergegas menuju pintu.

Sebelum aku membuka pintu, aku memeriksa di balik tirai jendela untuk memastikan siapa yang datang. Ah..rupanya Mang Ujang, petugas keamanan di kampung ini.

“Wa’alaikumsalaam, ada apa Mang? Emak masih di dapur…”
“Oh..tolong kasih tau Emak, minta bantuannya buat urusin jenazah wanita..”
“Memang siap yang meninggal Mang?”
“Itu…penganten baru, Mbak Azkiyya. Istrinya Ustadz Adnan. Tapi almarhumah masih di perjalanan lagi ke mari, dari rumah sakit.”

“Innalillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun..” aku dan Emak terhenyak. Seakan mendengar gelegar halilintar.

Kami bergegas menyiapkan perlengkapan jenazah. Perlengkapan yang memang khusus disediakan dari dana kematian RW. Dengan segera kami tinggalkan rumah. Membelah fajar ba’da shubuh, menuju kediaman almarhumah. Sesampainya di sana, sebuah ambulance baru saja tiba. Satu persatu keluar dari pintu belakang ambulance, hingga jenazah di angkut ke dalam rumah.

Dengan deraian rasa bersalahku, aku membantu Emak mengukur dan memotong kain kafan. Sementara yang lain menyiapkan pemandian. Diam-diam ku perhatikan wajah almarhumah. Semburat senyum perlahan menghias di bibirnya. Seolah mengabarkan pada kita semua bahwa ia telah melihat istananya di surga. Keringat lembut pun mengembun disekitar keningnya. Pertanda syahid di akhir hayatnya. Subhanallah..?!

Rupanya sebuah virus telah menyerang almarhumah sejak lama. Virus Lupus telah menghabiskan kedua buah ginjalnya. Hingga kondisi tubuhnya tak memungkinkan bertahan hidup tanpa kedua ginjalnya. “Ya Allah, kasihan sekali Mbak Kiyya. Semoga sakitnya ini sebagai penebus dosa-dosanya.” lirihku membatin.

Sangat jelas kusaksikan, ada duka meliputi seluruh keluarganya hari itu. Aku tak mengira jodoh mereka sesingkat itu. Dan tak mungkin aku bahagia di atas duka Ustadz Adnan yang kehilangan istri tercintanya. Dukanya seakan-akan menjadi dukaku. Rasa kehilangan itu sangat kuat memilukan rasa di hatiku.

Namun ada rasa bersalah yang tak beralasan. Rasa bersalah karena sebuah harapan. Untuk hadir ditengah-tengah kebahagiaan mereka. Ingin menjadi pelengkap dalam bingkai surga mereka. Mungkin memang lebih baik aku tak hadir diantara mereka. Karena mungkin aku tak layak mendampingi kebersamaan mereka. Hingga hanya tangis dan do’aku yang teriring untuk mereka.

***

Sebulan telah berlalu sejak itu. Kecenderungan dalam istikharahku semakin kuat merasuk qalbu. Aku kembali mengutarakan niatku pada Emak. Sebisaku, tanpa sedikitpun bermaksud menyinggung perasaannya.

“Emak ngerti, Milah. Mungkin Allah memang menyiapkan kamu untuk menggantikan almarhumah. Kita tunggu Kakakmu pulang besok, ya? Mudah-mudahan Kak Kamal bisa bantu..”

Sebulan sekali Kak Kamal pulang dari Tanggerang. Sekedar istirahat melepas penat dari pekerjaannya di sana. Terakhir pulang, di hari wafatnya almarhumah istri teman dekatnya sendiri, bulan lalu. Ingin ku utarakan isi hatiku saat itu. Namun mengingat keadaan sepertinya tidak memungkinkan.

Keesokannya, Kak Kamal pulang menjelang ‘Isya. Masih cukup waktu untuknya bersiap-siap shalat berjama’ah di masjid. Selepas ‘Isya, kami bertiga berkumpul. Berbicara melepas rindu, membicarakan keadaan kami di sini, juga keadaan Kak Kamal selama di sana. Hingga akhirnya, Emak menyampaikan pada Kak Kamal, bahwa aku sudah lama ingin menikah dengan teman dekatnya, Ustadz Adnan.

“Subhanallah.. Sebelum bertemu dan menikahi istrinya, Adnan pernah menanyakan tentang kamu, Milah. Tapi waktu itu Kakak menyarankan supaya Adnan istikharah dulu. Kalau dia sudah mantap, Kakak baru akan menyampaikannya padamu..” sahut Kak Kamal menerangkan.

“Dan ternyata, Allah memilihkan Mbak Azkiyya. Apa karena Milah tidak sekufu atau belum layak?” tanyaku.

“Bukan..” sahut Emak. “Tapi karena Allah lebih tau, itu yang terbaik bagi semuanya.” lanjutnya.

“Betul, Mak.. Allah bermaksud menghibur Azkiyya di akhir masa hidupnya dengan kehadiran Adnan. Karena Allah tahu, hanya Adnan yang sanggup shabar menerima ujian seperti itu. Dan untuk Adnan, tentu Allah telah meyiapkan pelipur laranya, pelepas dahaganya. Dan semoga wanita itu adalah kamu, Milah..” ujar Kak Kamal menyejukkan qalbu.

“Insya Allah, besok Kakak shilaturrahim ke sana, dan membicarakan hal ini padanya.” lanjutnya mengakhiri pembicaraan malam itu.

Hingga keesokan harinya, Ustadz Adnan disertai beberapa kerabatnya berdatangan ke rumah, untuk melaksanakan prosesi khitbah. Sebulan kemudian kami pun melangsungkan akad nikah, dengan hidangan sederhana. Sedangkan walimatul ‘ursy (resepsi) nya, diselenggarakan tiga bulan sesudahnya.

“Lantunan rindu telah mengalun syahdu di qalbu
Hadirmu getarkan dawai - dawai rindu di hatiku

Duhai 'malaikat'ku..
Bimbing aku menjadi bidadari surgamu
Pelepas dahaga dalam hausmu
Pelipur lara dalam duka asmaramu

Duhai 'penjaga hati'ku..
Rebahkan segala gundahmu di dadaku
Sandarkan lelahmu di bahuku
Agar engkau tentram bersamaku
Agar engkau tahu bahwa aku hanya untukmu.."

“Melati Di Musim Semi”

Larik-larik benang perak pun teruntai dari langit. Rinainya berjatuhan menyapa bumi setengah sengit. Lembut kecupannya sejukkan wajah bumi yang kian menyempit. Riuh nyanyian tangisnya melelapkan bumi tanpa berkelit.

Namun hatiku laksana pohon yang mengering di musim gugur. Sementara, ia tak akan tumbuh dengan subur. Ia takkan menumbuhkan rimbun daunnya dan indah bunganya. Hingga musim semi tiba untuk ketiga kalinya.

Hujan sepanjang perjalanan Surabaya – Bandung semalam, masih menyisakan jejaknya pagi ini. Halus kabut menyambut kedatanganku di Kota Kembang ini. Namun tak cukup lama bagi mereka menyelimuti pagi. Ketika mentari perlahan mulai berseri.

Sesampainya di depan gedung sekolah SLTA ku dulu, kontan saja ingatanku terbawa pada masa-masa sekolahku tiga tahun lalu. Rasanya baru kemarin aku meninggalkan salah satu gedung bangunan zaman Belanda ini. Karena belum banyak mengalami perubahan, selain cat gerbangnya yang nampak masih baru.

“Peserta reuni ya, Mbak?” sambut seorang petugas di depan pos keamanan sekolah.

“Iya, Pak..” jawabku pada petugas keamanan yang nampak asing bagiku. Mungkin memang petugas baru.

“Tapi registrasi acaranya masih sejam lagi, Mbak..!” ujarnya

“Betul, Pak! Saya sengaja datang lebih awal dari Surabaya. Pengen keliling, liat-liat sekolah dulu..”

“Wah..dari Surabaya ya? Silakan, Mbak..” jawabnya mempersilakanku masuk ke gedung sekolah.

Setelah berterimakasih padanya, aku pun segera melangkahkan kaki menuju gerbang utama. Setelah melewati gerbang utama, aku menyusuri koridor yang memisahkan antara ruang tata usaha di sebelah kananku, dan ruang guru di samping kiriku. Namun tak satu pun pintu di antara keduanya terbuka. Mungkin karena libur panjang, fikirku.

Keluar dari koridor, secara spontan aku langsung belok kanan. Memang sudah menjadi kebiasaanku selama tiga tahun di sekolah ini. Karena setiap pagi sebelum menuju kelas, aku selalu mampir ke ruang OSIS yang berada di pojok kanan jalur ini. Ruang yang menjadi tempat favoriteku, tempat dimana aku menyimpan banyak kenangan di sekolah ini.

Sambil berjalan menuju ruang OSIS, pandanganku melayang ke sekitar lapangan di arah kiriku. Taman-tamannya masih seperti dulu. Pohon-pohonnya pun masih berdiri seperti waktu itu. Dari kejauhan aku melihat ada beberapa orang yang keluar masuk ruang OSIS, mereka pasti anggota OSIS, sekaligus panitia reuni kali ini.

Langkahku pun surut menuju ruang favoriteku itu, khawatir mengganggu panitia. Beberapa meter sebelum ruang OSIS, tatapanku tertuju pada sebuah pohon bougenvile. Ah..bangku dibawahnya masih sama seperti dulu. Dengan menuruni beberapa anak tangga, segera kuhampiri dan kuhempaskan tubuhku dibangku itu, sekaligus melepas lelah setelah perjalanan panjang semalam. Hmm..masih senyaman dulu. Setiap istirahat atau sepulang sekolah, tempat inilah yang menjadi labuhanku.

Hangat senyum mentari dan lembut angin musim semi menyapaku di bawah pohon itu. Sang pohon pun riuh menggoyangkan dahan dan daunnya menyambutku. Hingga sebagian bunganya yang merah muda berjatuhan di pangkuan dan sekitarku. Seakan-akan mereka tahu, bahwa Melati yang dulu telah kembali.

***

Masih kuat kuingat tahun pertama sekolah di sini. Mulai dari Masa Orientasi Siswa, memasuki kelas pertama, hingga aktifitasku di OSIS dan rohis Al Iqra sekolah ini. Memang aneh, waktu itu aku belum mengenakan jilbab tapi aku ingin sekali ikut serta dalam kegiatan rohis. Setidaknya, dengan ikut aktif di kegiatan rohis, ada motivasi dalam diriku untuk mulai mengenakan jilbab.

Namun bukan hanya itu, alasan utamanya cukup konyol, hanya karena presentasi dari ketua rohis masa itu, Kang Luthfi. Kakak kelas tingkat dua, sedangkan aku baru tingkat satu. Lembut sikap dan tutur katanya, membuatku terpesona. Artikel-artikelnya tentang remaja Islam di mading sekolah, cukup banyak menarik perhatian para siswa terlebih lagi kaum hawa.

Meskipun aku aktif di rohis Al Iqra, aku tetap tidak bisa mendekati sosok Kang Luthfi. Pasalnya, rutinitas rohis ikhwan dan akhwat terpisah. Hanya dalam program-program tertentu saja seperti peringatan hari besar Islam, rohis ikhwan dan akhwat bekerjasama. Tentu saja mereka para senior lebih mendominasi program, sementara aku dan anggota se-angkatan lainnya hanya sebagai pelaksana.

Suatu ketika, sepulang sekolah ada undangan rapat yang melibatkan semua anggota rohis dan tentunya OSIS. Rupanya, ketua OSIS yang baru dilantik meminta dua orang anggota rohis untuk mengisi jabatan Ketua dan Wakil Ketua SekBid I di pengurus OSIS. Setelah dimusyawarahkan, hasilnya cukup mengejutkan. Kang Luthfi terpilih menjadi ketua SekBid I, dan Wakil Ketuanya terpilihlah aku. Entah kenapa aku yang terpilih. Tapi aku senang sekali, setidaknya akan ada alasan bagiku untuk mulai mendekati Kang Luthfi.

Meski Kang Luthfi terkenal supel, suka bercanda dengan sesama ikhwan. Namun ia boleh dibilang ‘jaim’ jika dihampiri akhwat di sekolah. Tidak banyak tingkah, bahkan bicara pun seperlunya. Hmm..sesuatu yang mebuatku semakin penasaran untuk lebih mendekatinya.

Sampai suatu hari selepas kegiatan rohis, sebelum pulang aku mampir ke ruang OSIS. Tak ada seorangpun di sana. Hanya beberapa tas yang masih teronggok di meja sekretaris. Tiba-tiba Kang Luthfi datang dan mengambil tasnya.

“Pulangnya ke mana, Kak?” sapaku mencoba mencairkan suasana.

“Ke rumah..?! Duluan ya, Mel..! Assalaamu’alaikum..” sambil berlalu pergi.

“Hhah..? Ke rumah? Ya…aku tahu dia pulang ke rumah. Tapi maksud pertanyaanku tadi rumahnya di mana? Nyebelin banget sih..” ungkap batinku setelah menjawab salamnya.

Berkali-kali aku mencoba menyapa, namun jawabannya tetap sama. Singkat, tanpa penjelasan, dan segera berlalu. Seperti itu dan selalu begitu. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak menyapanya sebelum dia menyapaku terlebih dahulu.

Sikapku bisa kukendalikan, tetapi rasa di hati tak bisa kutahan. Hingga suatu malam kutuangkan rasa itu dalam sebuah surat (maklum, waktu itu belum musim handphone untuk anak sekolah). Diam-diam aku akan memasukkan surat ini ke dalam tasnya di ruang OSIS besok.

Usai jam pelajaran sekolah aku segera menuju ruang OSIS. Untuk mengintai dimana Kang Luthfi menyimpan tasnya. Namun tanpa kusadari, Yuli sahabat sekelasku sesama pengurus OSIS, membuntutiku.

“Melati, boleh minta tolong gak?” ujarnya padaku dengan merendahkan suaranya.

“Minta tolong apa, Yul? InsyaAllah Melati bantu, kalau mampu..” jawabku sedikit heran.

“Cuma mau nitip ini. Kayaknya cuma Melati yang bisa ngasihin ini ke Kang Luthfi.” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop, bermotif bunga kekuning-kuningan.

“Ya Allah.. Yuli, apaan ini?” tanyaku terkejut.

“Cuma salam shilaturrahim aja kok.. Tolong ya, Mel..?” jawabnya seraya memelas.

Kontan saja keringat dingin menyerang sekujur ragaku. Ternyata bukan hanya aku, Yuli pun menulis surat untuk Kang Luthfi. Aku jadi bingung..haruskah kusampaikan juga surat ini pada Kang Luthfi? Atau cukup suratku saja? Belum habis kebingunganku, Yuli segera pamit sedangkan aku tetap menuju ruang OSIS.

Masih dalam kerisauanku, aku termenung di salah satu kursi ruang OSIS. Tatapan kosongku tertuju ke arah lantai dekat pintu. Hingga datanglah sosok Kang Luthfi memasuki ruang OSIS seraya mengucap salam. Kujawab salamnya, dengan menampakkan keterkejutanku. Reflek kusembunyikan amplop titipan Yuli di balik tubuhku dengan kedua tangan.

“Tumben ke sini dulu? Keputrian lagi gak ada kegiatan ya?” sapanya seraya menyimpan tas di tempat biasa.

Belum kujawab pertanyaannya, dahi Kang Luthfi mengkerut melihat wajah terkejutku.

“Kamu baik-baik aja? Wajah kamu pucet, Mel.. Sakit?” lanjutnya seraya menduduki meja di dekatku.

“Ng..nggak apa-apa Kang.. Saya baik-baik aja..” jawabku gugup seraya bangkit dari tempat duduk dan mengangkat tasku.

Ceroboh, gara-gara gugup aku ceroboh. Amplop titipan Yuli terjatuh tepat dihadapan Kang Luthfi. Seakan ragaku terpaku, tak dapat segera kusambar amplop itu. Justru dialah yang mengambilkannya untukku. Sebelum diserahkannya padaku, dia sempat membaca bagian depan amplop itu.

“Teruntuk, Kang Luthfi..??” bacanya heran.
“Buat saya ya?” lanjutnya seraya menyobek bagian pinggir amplopnya.

Lisanku seakan kelu, ragaku serasa membeku. Tak ada yang dapat kukatakan, tak ada yang bisa kulakukan. Selain menutupi sekitar bibir dengan kedua tanganku. Rasa cemas dan takut mulai menyelimutiku, saat Kang Luthfi mulai membaca isinya. Tanganku berkeringat dingin, jilbabku serasa menggerahkan, dan…

“Oh..kirain Melati yang nulis ini..” ujarnya setelah selesai membaca semua isinya.

“Bukan, Kang..” hanya itu yang keluar dari lisanku, dan segera aku beranjak dari ruang yang mulai terasa menyesakkan itu.

“Tunggu, Mel..” sahutnya menghentikan langkahku.

“Kalau ada waktu, saya mau bicara. Enggak sekarang juga gak apa-apa..” lanjutnya.

Aku menyepakati, meski entah apa yang akan dibicarakannya. Tapi mungkin itulah saatnya bagiku untuk langsung bicara padanya. Tepatnya seusai rapat kordinasi pengurus OSIS, dibawah pohon bougenvile inilah kami bicara. Kami duduk di bangku ini dengan dibatasi kedua buah tas kami.

“Kalau boleh jujur..sebelum Yuli, masih ada akhwat-akhwat lain yang pernah nulis surat yang serupa..” ujar Kang Luthfi membuka percakapan siang itu.

“Akhwat-akhwat yang saya anggap teman, bahkan sahabat, tetapi malah timbul fitnah di antara kami. Dan saya lebih memilih menjauhi mereka, karena khawatir terjadi fitnah yang lebih besar lagi. Lagian, saya bukan siapa-siapa. Hanya manusia biasa yang tak bisa memberi sedikitpun rizqi bagi diri sendiri, apalagi untuk mereka. Saya malu sama Allah, jika hati dan fikiran saya nanti terkuras untuk mereka, ataupun sebaliknya..” tambahnya.

“Apa kita gak boleh memiliki perasaan seperti itu, Kak?” sahutku.

“Memang perasaan itu fitrah kita sebagai manusia, tapi bukan berarti kita harus mengikuti hawa nafsu kita. Kita kan punya Quran sebagai pedoman, ‘Wa laa tattabi’ ahwaa ahum’ (Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu kalian)…”

“Seandainya mereka berharap dinikahi, bagaimana?” tanyaku ingin tahu.

“Lain halnya kalau mereka menawarkan diri untuk dinikahi. Syari’at pun membolehkan. Tapi masih lama kali ya.. Sekolah aja belum lulus..” ujarnya dengan senyum simpul.

Setelah perbincangan itu, rasanya aku harus mengurungkan niat menyerahkan suratku kali ini. Apalagi mengungkapkan langsung pada Kang Luthfi. “Karena aku Melati, bukan mereka ..” batinku menyemangati. Hingga tiba harinya nanti, akulah yang akan menawarkan diri.

***

Semua kenangan itu rasanya masih hangat diingatanku. Bahkan atmosfernya masih kuat kurasakan. Hanya dua tahun, aku bisa bersahabat dekat dengan Kang Luthfi. Karena Kang Luthfi lulus setahun lebih awal dariku. Setelah lulus, Kang Luthfi melanjutkan studinya di IPB Bogor. Setahun kemudian aku lulus dan melanjutkan kuliah di UNAIR Surabaya. Sejak itu, kami kehilangan komunikasi. Sejak itu pula aku mulai menjaga hati dari sembarang lelaki. Karena ada harapan suci di hati yang masih tersimpan hingga kini.

Tiga tahun telah kulalui. Tiga kali musim semi sudah berganti. Saatnya aku membuka jendela hati. Menyambut mentari yang kan singgah di sanubari. Layaknya melati yang kembali bersemi. Meski hujan dan panas menyapa bumi. Meski ia tak hinggap di dahannya lagi. Ia kan tetap menebarkan wangi.

Mungkin di reuni inilah kesempatanku untuk menawarkan diri pada Kang Luthfi. Sosok ikhwan yang masih dapat kuingat setiap pesonanya. Masih tersimpan wangi khasnya yang sempat ia titipkan. Mmh..aroma khas melatinya masih terasa tajam di penciuman. Ya..aroma wanginya masih bisa kucium dengan kuat. Sangat kuat dan semakin kuat. Seakan wanginya terasa nyata, dan semakin nyata.

“Assalaamu’alaikum, Mel..” sapa seorang wanita dari arah belakangku.

“Wa’alaikum salaam.. Yuli..?!” jawabku tersentak setelah membalikkan tubuhku ke sumber suara itu.

Setelah bersalaman, berpelukan, serta cium pipi kanan dan kiri. Aku merasa ada yang janggal dengan Yuli. Perutnya nampak besar sekali. Dia pun tak datang sendiri. Dia didampingi sosok ikhwan yang tak asing lagi.

Di musim semi ini, ada pilu menyayat kalbu. Selaksa embun di pelupuk mata mulai mengabuti pandanganku. Sesuatu seakan membakar jantungku. Memicu deras aliran darahku. Bangkitkan sesak memenuhi seisi dadaku, hingga mendesak tenggorokanku.

“Kalian sudah menikah ya?” sahutku haru.

“Alhamdulillah.. Ini yang pertama, jalan sembilan bulan..” jawab Yuli seraya menunjukkan kehamilannya.

“Baarakallahu lakuma wa baaraka ‘alaikuma, wa jama’a baina kuma fii khair..” ucapku seraya kembali memeluk Yuli, seiring lelehan hangat yang melintasi pipiku.

“Cukup lama kunantikan suatu masa
Masa tuk ungkapkan kejujuran rasa
Rasa yang kian membuncah di setiap asa
Asa tuk bersama dalam samudra surga

Namun beginikah sakitnya menahan perih?
Perihnya hati yang tertusuk rindu?
Rindunya hati yang terbakar cemburu?
Cemburunya hatiku pada dia dan sahabatku..?”

Sejatinya aku turut bahagia atas kebersamaan mereka. Meski tak kupungkiri hatiku diremas duka. Tak mampu kutahan lagi bulir-bulir bahagia bercampur duka. Rindu yang telah lama mengendap di kalbu, kini hanyalah sepenggal rasa yang takkan kunjung berpadu.

Memang salahku yang berharap pada kekuatan rasaku. Karena sepatutnya aku berharap hanya pada Rabbku. “Wa ilaa Rabbika farghab” (Dan hanya pada Rabbmu lah engkau berharap).

“Kan kupetik setangkai demi setangkai rindu dari hatiku
Hingga ia terkumpul berbaur dalam nampan cinta Rabbku
Biarlah ia menjadi pewangi di setiap malam-malam sendiriku
Menjadi penghias dalam syahdunya munajat rinduku..”

Taken from: https://www.facebook.com/BilaHatiRinduMenikah?ref=stream&filter=1

~ "Karena-Nya Aku Menunggu" ~

"Jadi gimana Mita? Kamu mau menerimanya? Ini sudah ikhwan kelima yang meminangmu."

Aku menggeleng. Kepalaku tertunduk mendengar perkataan kak Sinta, seseorang yang sudah ku anggap sebagai kakak sendiri di tan
ah rantau ini. Jemariku memilin-milin jilbab merah muda yang ku kenakan.

"Kamu nunggu apa lagi? Usiamu sudah cukup, pekerjaanmu sudah mapan. Apa lagi yang kamu tunggu, Mita?" Kak Sinta menghela nafas panjang, kekecewaan tersurat jelas dari nada bicaranya.

"Kakak tahu, Andri ini bukanlah tipemu. Ia seorang pekerja lapangan, bukan orang yang suka membaca buku. Tapi tolong, Mita.. Pertimbangkan lagi, istikharahlah dulu.."

"Aku udah istikharah Kak.." tukasku

"Coba sekali lagi.." suara Kak Sinta melunak

Aku hanya mengangguk. Kepalaku masih tertunduk. Sudah beberapa kali istikharah, namun tetap saja hati belum menemukan kemantapan.

"Bagaimana mungkin kau merasa mantap Mita kalau di hatimu hanya ada satu nama saja." sebuah suara berbisik.

Cepat-cepat aku menggeleng dan memohon pamit pada kak Sinta. Lupa tujuan kedatanganku ke rumahnya menemui si kecil Zahwa yang belum pulang dari mengaji.

---

Kujamahkan pandanganku pada langit-langit kamar 3x3 meter ini dengan tatapan kosong. Ini tahun ketigaku di kota yang katanya 'lebih kejam dari ibu tiri', sedangkan aku masih sendiri. Perkataan kak Sinta kemarin menohokku. Benar kata Kak Sinta, sudah empat kali aku menolak lamaran laki-laki. Menjadi lima jika nanti aku resmi menolak Andri.

Sebut saja Dika, teman kuliah kak Sinta yang ku tolak karena aku merasa belum mapan. Sementara aku harus membantu biaya sekolah adik-adikku. Sekarang, penghasilanku sebagai guru SMP Islam ternama dan juga berbisnis produk herbal, sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup dan membantu orang tua. Namun tetap saja tiga laki-laki berikutnya tak mampu menggoyahkan hatiku untuk mengatakan 'ya'.

"Apa yang kau cari Mita?" suara kak Sinta seakan bergema di dinding kamar. Pertanyaan itu seolah menghujamiku berulang-ulang. Bahkan aku bisa menirukan persis nada bicara perempuan yang usianya terpaut lima tahun di atasku itu. Nada kekecewaan, nada kekhawatiran, ah..aku tahu usiaku sudah menginjak seperempat abad tahun ini. Kak Sinta tahu persis siapa saja laki-laki yang melamarku. Tak urung, ia selalu menawarkan kelebihan-kelebihan mereka, agar hatiku menemukan kemantapan. Nampaknya ia cemas padaku yang tak kunjung menjatuhkan pilihan.

"Menikah itu salah satu hal yang harus disegerakan dalam Islam, Mita.."

"Mita, kamu tahu kan, kalau ada laki-laki yang baik agamanya datang meminang, tetapi pinangannya tidak diterima, maka dikhawatirkan akan timbul fitnah?"

Atau yang akhir-akhir ini kerap dikatakannya berulang-ulang, "Dulu Dika nggak mau, alasannya kamu belum mapan. Amir, alasannya sholatnya jarang tepat waktu. Hasan, alasannya pernah berpacaran bertahun-tahun dan kamu nggak mau. Lalu Toni, alasannya pekerjaannya terlalu jauh. Dan sekarang Andri.. Kakak nggak menemukan alasan kamu menolaknya."

"Ah, apakah ketiadaan alasan untuk menolak mengharuskan seorang perempuan untuk menerima pinangan seorang laki-laki?" gumamku.

Aku memang tak punya alasan kuat untuk menolaknya. Tetapi aku pun tak menemukan alasan untuk menerimanya. Kami terlalu berbeda. Begitu aku menyimpulkannya, setelah mendengar penuturan orang-orang yang dekat dengannya. Ia tak suka istrinya banyak di luar, sedangkan aku punya banyak kegiatan. Ia amat pendiam, sedangkan aku banyak bicara. Ia berasal dari keluarga amat kaya, sedankan aku dari keluarga sederhana. Dan sebagainya. Benakku sudah mencatat panjangnya perbedaan di antara kami.

Apa karena ketidaksamaan itu aku harus menolaknya? Apakah penolakanku kepada semua laki-laki yang bermaksud serius denganku benar-benar berdasarkan alasan yang sesungguhnya? Pertanyaan demi pertanyaan menghujaniku.

"Tidak Mita, sebenarnya kamu hanya menunggu satu laki-laki." suara itu datang lagi. Aku tercekat. Itukah jawabanku yang sebenarnya? Sehingga berkali-kali istikharah pun, aku tak kunjung mendapatkan kemantapan. Hatiku sudah terkunci pada satu nama, suka atau tak suka. "Aku menunggunya." sebersit keyakinan tersimpan rapi di ujung hati.

---

Laki-laki itu bernama Fahmi. Usianya sebaya denganku. Hampir semua orang di kampus mengenalnya. Ia aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan dan juga aktif di kegiatan sosial. Tulisan-tulisannya kerap dimuat media massa. Beberapa kali aku terlibat satu kepanitiaan dengannya. Bagiku itu sudah cukup untuk mengenal kepribadiannya. Dan melalui tulisannya aku bisa membaca pandangannya. Sudah cukup untuk membuatku menyebut namanya dalam setiap doa. Sudah cukup untuk membuatku menahan rasa sekian lama.

"Mita.." pintu diketuk, suara kak Sinta membuyarkan anganku.

Astaghfirullah, cepat-cepat aku beristighfar. Tak baik memikirkan laki-laki bukan mahram. Untung suara ketukan itu menyadarkan aku.

"Kakak boleh masuk? Tadi kakak dibukakan pintu oleh bu Imah." ujar Kak Sinta.

Cepat-cepat aku beranjak dan membukakan pintu. Senyum manis kak Sinta menyambutku, seperti biasa.

"Masuk Kak.."

Kak Sinta mengambil posisi duduk di atas kursi belajar. Ia langsung menceritakan maksud kedatangannya. Tentang Andri tentu saja. Aku hanya menggeleng.

"Kakak sudah menduga jawabanmu. Boleh Kakak tahu alasannya?"

Aku menggeleng. Aku memang tak punya alasan.

"Mita, maafkan kakak lancang mengatakan ini. Melihat gelagatmu yang aneh kemarin saat bertemu dengan Fahmi, Kakak tiba-tiba ingat kamu pernah bercerita ingin memiliki suami yang punya banyak kesamaan. Apakah kamu menyimpan perasaan khusus kepada Fahmi?" Kak Sinta terdengar menyelidik.

Aku terdiam. Perasaan ini sudah tersimpan rapi begitu lama. Hanya aku dan Allah yang tahu. Aku ingin seperti Fathimah kepada 'Ali.

"Mita.. Jujurlah pada Kakakmu ini..!"

Tangan kak Sinta mengangkat daguku lembut. Mata bulatnya beradu pandang denganku. Ia menatapku dalam.

"Iya Kak.." hanya itu jawaban yang mampu ku lontarkan.

"Aha.." seru Kak Sinta girang.

"Wah kalau Fahmi sih mudah saja kakak menyampaikannya. Dia kan sahabatnya Mas Wawan. Tinggal bilang Mas Wawan saja kalau kamu ingin berproses dengannya. Bagaimana?" mata kak Sinta berkedip-kedip menggodaku.

Aku menggeleng cepat. "Nggak ah Kak, masak perempuan yang minta duluan. Lagipula aku tak sanggup Kak kalau nanti dia mengatakan tidak." tukasku.

"Mita, pandang mata kakak.." nada suara kak Sinta tegas.

"Lihat ke sini, dengar ucapan Kakak baik-baik. Sampai kapan kamu mau begini, Mita? Maafkan Kakak yang terlambat peka dengan perasaanmu terhadap Fahmi. Tapi Kakak rasa, kamu sudah menyimpan perasaanmu cukup lama. Sudah berapa lama, Mita?"

Lidahku serasa kelu. Aku hanya mampu mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku berdampingan.

"Dua tahun? Dan selama itu kamu menolak beberapa pinangan lelaki baik-baik? Tak sadarkah kamu, Mita? Semakin kamu menyimpan perasaan, semakin besar kemungkinanmu berzina hati. Kalau memang kamu yakin Fahmi bisa menjadi imam yang baik untukmu, mengapa tidak kamu utarakan padanya? Melalui perantara tentunya. Toh agama kita tidak melarangnya kan?"

Otakku sibuk mencerna kata-kata kak Mita. Memikirkan kemungkinan melakukan hal yang tak pernah ku pikirkan selama ini.

---

"Assalaamu’alaikum.." suara yang ku kenal menyapa. Suara mas Wawan, suami kak Sinta. Di belakangnya pasti ada kak Sinta dan Zahwa.

"Wa’alaikumussalaam.." segera kuletakkan sayuran yang hendak kumasak, membukakan pintu.

"Wah..tumben Kakak-Kakakku berkunjung ke mari bersamaan. Masuk, Kak. Silahkan duduk. Zahwanya mana Kak?" aku tak menemukan Zahwa bersama mereka.

"Kebetulan tadi Zahwa diajak pergi sama Budhenya. Eh, ngomong-ngomong, Mita lagi sibuk nggak?" Kak Sinta membuka pembicaraan.

"Enggak kok, cuma mau masak. Ada apa ya Kak?"

"Begini Mita.." mas Wawan mengambil alih pembicaraan. Mengalirlah ceritanya, tentang kak Sinta yang telah menceritakan kecenderunganku pada Fahmi. Tentang keinginanku agar mas Wawan membantuku berproses dengan Fahmi. Hingga..

"Maaf Mita, Mas nggak bisa bantu. Saat ini, Fahmi sedang berproses dengan akhwat lain, dan sepertinya akan berlanjut."

Suara Mas Wawan seperti petir di siang bolong. Sia-sia sudah doa panjangku untuknya. Sia-sia sudah penantianku sekian lamanya. Sia-sia sudah aku menolak lima laki-laki hanya untuk menunggunya.

Rasa sesak memenuhi seisi dadaku. Ia mendesak tenggorokkanku. Pandanganku serasa diselimuti kabut. Kukatupkan pelupuk mataku menahan butiran embun agar tak tumpah. Tapi sia-sia, embun hangat berubah laksana air bah yang enggan berhenti meluap.

Tanpa diminta, tangan Kak Sinta terhulur ke arahku. Kusambut dengan membenamkan tubuhku dalam pelukannya. Membiarkan aku terisak-isak dalam erat dekapannya.

---

Tiga bulan sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah berusaha menghapus nama laki-laki itu dalam hati. Aku menghindari pertemuan dengannya dan semakin menyibukkan hari-hariku. Memperluas pergaulanku. Memperpanjang bacaan shalatku, memperlama tilawah setiap harinya.

Lagu Maher Zain terlantun dari telepon genggamku, sebuah panggilan masuk yang segera kuangkat.

"Assalaamu’alaikum.." suara laki-laki yang amat ku kenal menyapa.

"Ayah!" Pekikku senang, jarang-jarang Ayah meneleponku.

"Eh saking girangnya anak Ayah nggak menjawab salam. Ayah ada di depan kosmu Nak.."

Seruanku semakin keras. Cepat-cepat kukenakan jilbab dan membukakan pintu.

"Assalaamu’alaikum putri Ayah.." Ayah tersenyum lebar seraya memelukku. Sudah tiga bulan aku tak pulang ke kampung halaman.

"Ayah makin ganteng aja.." aku merajuk manja, menggandeng tangannya masuk.

"Eit eit, tunggu dulu. Lihat dulu dong yang ada di belakang Ayah. Disuruh masuk sekalian tuh."

Aku menoleh ke belakang. Perhatianku hanya terfokus untuk Ayah.

"Fahmi..!!!" seruku terpekik.

Fahmi tersenyum sekilas menatapku sebelum menundukkan pandangannya.

---

Bagitu cepat rasanya kisah ini. Tiga bulan yang lalu aku mengaku kepada kak Sinta akan perasaanku. Meminta Mas Wawan membantuku. Kemudian hatiku hancur berkeping-keping mendengar berita tentang Fahmi. Kini, laki-laki itu datang ke hadapanku, bersama laki-laki paling istimewa dalam hidupku dengan tiba-tiba.

"Jadi begini Nak, dua hari yang lalu Fahmi datang ke rumah dan meminta izin untuk melamarmu. Ayah menyuruhnya untuk menunggumu pulang tetapi ia tak mau, ia ingin segera katanya. Maka ia membawa Ayah ke tempat ini untuk meminta jawabanmu secara langsung.."

"Me..la..mar..???” aku menekankan kata itu kalau-kalau aku salah dengar.

"Iya, aku ingin melamarmu Mita. Aku ingin menjadikanmu sebagai istriku." tutur Fahmi seraya manatap Ayah.

Ayah mengangguk. Isyarat membenarkan apa yang dituturkan Fahmi.

"Jadi bagaimana jawabanmu Mita?"

"Bagaimana prosesmu dengan akhwat itu, bukankah berlanjut?"

Tampak keterkejutan di wajah Fahmi, sebelum dengan cepat menguasai diri.

"Aku tak menemukan kemantapan dengannya, lalu memutuskan untuk tak berlanjut. Berkali-kali aku shalat istikharah, dan kecenderunganku hanya pada namamu."

Aku terdiam, mencerna kata-katanya.

"Jadi bagaimana Mita?" kali ini suara Ayah terdengar.

Aku menundukkan kepala menahan senyum bahagia. Menyembunyikan semburat yang merona di kedua pipiku. Rasa hangat menjalari sekujur tubuhku. Diamnya seorang wanita adalah tanda kesediaannya bukan?

---

Akad nikah dilangsungkan di masjid dekat rumahku sebulan sesudah kedatangan Ayah dan Fahmi. Musik nasyid dan alunan rebana mengiringi Walimatul ‘Ursy yang kami selenggarakan secara sederhana di halaman rumahku yang cukup luas.

"Aku tahu kamu yang suka duluan sama aku.." bisik Fahmi di telingaku saat tamu sudah mulai sepi.

"Ah, bukankah kamu yang melamarku..?" tepisku, pura-pura tak ingat akan niatanku dulu.

"Iya kamu bermaksud melamarku tapi nggak jadi kan? Ngaku aja, berarti kamu yang suka duluan sama aku.." suara Fahmi semakin menggodaku.

Aku memasang tampang cemberut. Meski hatiku tengah berbunga-bunga karenanya.

"Aih..gitu aja cemberut, istriku." katanya sambil menjentikkan jarinya di hidungku.

"Sayang, tahu nggak kenapa lama banget aku baru punya istri? Padahal yang naksir aku banyak lho.." lanjutnya membuatku ingin mencubitnya.

Aku hanya menatap tajam ke dalam matanya yang kian berbinar. Tanpa tahu apa yang harus kukatakan.

"Aku tahu.." sahutnya. "Kamu pasti istimewa, karena-Nya aku harus menunggumu sekian lama." bisiknya seraya perlahan mengecup pipiku yang memerah.

*Dikutip dari Catatan Dian Nur'aeni, "Ketika Akhwat Menunggu"
http://www.facebook.com/notes/dian-nuraeni/ketika-akhwat-menunggu/10151212305203206

Kamis, 09 Agustus 2012

Anak Wanita Bertanya Kepada Ayahnya


Suatu Ketika, Ada Seorang Anak Wanita Bertanya Kepada Ayahnya, Tatkala Tanpa Sengaja Dia Melihat Ayahnya Sedang Mengusap Wajahnya Yang Mulai Berkerut-Merut Dengan Badannya Yang Terbungkuk-Bungkuk, Disertai Suara Batuk-Batuknya.

Anak Wanita Itu Bertanya Pada Ayahnya, “Ayah, Mengapa Wajah Ayah Kian Berkerut-Merut Dengan Badan Ayah Yang Kian Hari Kian Terbungkuk?”Demikian Pertanyaannya, Ketika Ayahnya Sedang Santai Di Beranda.


Ayahnya Menjawab : “Sebab Aku Laki-Laki.” Itulah Jawaban Ayahnya. Anak Wanita Itu Berguman : “Aku Tidak Mengerti.” Dengan Kerut-Kening Karena Jawaban Ayahnya Membuatnya Tercenung Rasa Penasaran. Ayahnya Hanya Tersenyum, Lalu Dibelainya Rambut Anak Wanita Itu, Terus Menepuk Nepuk Bahunya, Kemudian Ayahnya Mengatakan : “Anakku, Kamu Memang Belum Mengerti Tentang Laki-Laki.” Demikian Bisik Ayahnya, Membuat Anak Wanita Itu Tambah Kebingungan.



Karena Penasaran, Kemudian Anak Wanita Itu Menghampiri Ibunya Lalu Bertanya :“Ibu Mengapa Wajah Ayah Menjadi Berkerut-Merut Dan Badannya Kian Hari Kian Terbungkuk? Dan Sepertinya Ayah Menjadi Demikian Tanpa Ada Keluhan Dan Rasa Sakit?”
Ibunya Menjawab: “Anakku, Jika Seorang Laki-Laki Yang Benar-Benar Bertanggung Jawab Terhadap Keluarga Itu Memang Akan Demikian.” Hanya Itu Jawaban Sang Bunda.



Anak Wanita Itupun Kemudian Tumbuh Menjadi Dewasa, Tetapi Dia Tetap Saja Penasaran.
Hingga Pada Suatu Malam, Anak Wanita Itu Bermimpi. Di Dalam Mimpi Itu Seolah-Olah Dia Mendengar Suara Yang Sangat Lembut, Namun Jelas Sekali. Dan Kata-Kata Yang Terdengar Dengan Jelas Itu Ternyata Suatu Rangkaian Kalimat Sebagai Jawaban Rasa Penasarannya Selama Ini.



“Saat Ku-Ciptakan Laki-Laki, Aku Membuatnya Sebagai Pemimpin Keluarga Serta Sebagai Tiang Penyangga Dari Bangunan Keluarga, Dia Senantiasa Akan Menahan Setiap Ujungnya, Agar Keluarganya Merasa Aman Teduh Dan Terlindungi. “

“Ku-Ciptakan Bahunya Yang Kekar & Berotot Untuk Membanting Tulang Menghidupi Seluruh Keluarganya & Kegagahannya Harus Cukup Kuat Pula Untuk Melindungi Seluruh Keluarganya. “

“Ku-Berikan Kemauan Padanya Agar Selalu Berusaha Mencari Sesuap Nasi Yang Berasal Dari Tetesan Keringatnya Sendiri Yang Halal Dan Bersih, Agar Keluarganya Tidak Terlantar, Walaupun Seringkali Dia Mendapatkan Cercaan Dari Anak-Anaknya. “

“Kuberikan Keperkasaan & Mental Baja Yang Akan Membuat Dirinya Pantang Menyerah, Demi Keluarganya Dia Merelakan Kulitnya Tersengat Panasnya Matahari, Demi Keluarganya Dia Merelakan Badannya Basah Kuyup Kedinginan Karena Tersiram Hujan Dan Hembusan Angin, Dia Relakan Tenaga Perkasanya Terkuras Demi Keluarganya & Yang Selalu Dia Ingat, Adalah Disaat Semua Orang Menanti Kedatangannya Dengan Mengharapkan Hasil Dari Jerih Payahnya.”

“Ku Berikan Kesabaran, Ketekunan Serta Keuletan Yang Akan Membuat Dirinya Selalu Berusaha Merawat & Membimbing Keluarganya Tanpa Adanya Keluh Kesah, Walaupun Disetiap Perjalanan Hidupnya Keletihan Dan Kesakitan Kerap Kali Menyerangnya. “

“Ku Berikan Perasaan Keras Dan Gigih Untuk Berusaha Berjuang Demi Mencintai & Mengasihi Keluarganya, Didalam Kondisi & Situasi Apapun Juga, Walaupun Tidaklah Jarang Anak-Anaknya Melukai Perasaannya Melukai Hatinya. Padahal Perasaannya Itu Pula Yang Telah Memberikan Perlindungan Rasa Aman Pada Saat Dimana Anak-Anaknya Tertidur Lelap. Serta Sentuhan Perasaannya Itulah Yang Memberikan Kenyamanan Bila Saat Dia Sedang Menepuk-Nepuk Bahu Anak-Anaknya Agar Selalu Saling Menyayangi & Mengasihi Sesama Saudara.”

“Ku-Berikan Kebijaksanaan & Kemampuan Padanya Untuk Memberikan Pengetahuan Padanya Untuk Memberikan Pengetahuan & Menyadarkan, Bahwa Istri Yang Baik Adalah Istri Yang Setia Terhadap Suaminya, Istri Yang Baik Adalah Istri Yang Senantiasa Menemani. & Bersama-Sama Menghadapi Perjalanan Hidup Baik Suka Maupun Duka, Walaupun Seringkali Kebijaksanaannya Itu Akan Menguji Setiap Kesetiaan Yang Diberikan Kepada Istri, Agar Tetap Berdiri, Bertahan, Sejajar & Saling Melengkapi Serta Saling Menyayangi.”

“Ku-Berikan Kerutan Diwajahnya Agar Menjadi Bukti Bahwa Laki-Laki Itu Senantiasa Berusaha Sekuat Daya Pikirnya Untuk Mencari & Menemukan Cara Agar Keluarganya Bisa Hidup Di Dalam Keluarga Bahagia & BADANNYA YANG TERBUNGKUK Agar Dapat Membuktikan, Bahwa Sebagai Laki-Laki Yang Bertanggungjawab Terhadap Seluruh Keluarganya, Senantiasa Berusaha Mencurahkan Sekuat Tenaga Serta Segenap Perasaannya, Kekuatannya, Keuletannya Demi Kelangsungan Hidup Keluarganya. “
“Ku-Berikan Kepada Laki-Laki Tanggung Jawab Penuh Sebagai Pemimpin Keluarga, Sebagai Tiang Penyangga, Agar Dapat Dipergunakan Dengan Sebaik-Baiknya. Dan Hanya Inilah Kelebihan Yang Dimiliki Oleh Laki-Laki, Walaupun Sebenarnya Tanggung Jawab Ini Adalah Amanah Di Dunia & Akhirat.”


Terbangun Anak Wanita Itu, Dan Segera Dia Berlari, Berlutut & Berdoa Hingga Menjelang Subuh. Setelah Itu Dia Hampiri Bilik Ayahnya Yang Sedang Berdoa, Ketika Ayahnya Berdiri Anak Wanita Itu Merengkuh Dan Mencium Telapak Tangan Ayahnya.” AKU MENDENGAR & MERASAKAN BEBANMU, AYAH.”


Dunia Ini Memiliki Banyak Keajaiban, Segala Ciptaan Tuhan Yang Begitu Agung, Tetapi Tak Satu Pun Yang Dapat Menandingi Keindahan Tangan Ayah…



Berbahagialah Yang Masih Memiliki Ayah. Dan Lakukanlah Yang Terbaik Untuknya….
Berbahagialah Yang Merasa Sebagai Ayah. Dan Lakukanlah Yang Terbaik Buat Keluarga Kita….

Menangis dan Curhat Ketika Sakit

Pertanyaan:
Saya sedang sakit, dan kadang saya menangisi keadaan saya ketika tertimpa penyakit. Apakah tangisan ini menunjukkan rasa tidak terima dan tidak ridha terhadap takdir Allah? Padahal perasaan sedi

h ini muncul begitu saja. Lalu apakah menceritakan keadaan saya tersebut kepada teman-teman saya juga termasuk sikap tidak ridha terhadap takdir?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- menjawab:
Anda boleh saja menangis, namun cukup dengan linangan air mata saja, jangan bersuara. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika anaknya, Ibrahim, meninggal:

العين تدمع والقلب يحزن ولا نقول إلا ما يرضي الرب وإنا لفراقك يا إبراهيم لمحزونون

“Air mata berlinang dan hati bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu kecuali yang diridhai Allah. Dengan kepergianmu ini wahai Ibrahim, kami sangat bersedih” (HR. Al Bukhari bab Al Jana’iz no 1241, Muslim bab Al Fadhail no.2315, Abu Daud bab Al Jana’iz no.3126, Ahmad 3/194)

Anda pun boleh mengabarkan teman dan sahabat anda tentang keadaan anda, namun dengan memuji Allah, bersyukur kepada Allah, dengan menyebutkan bahwa anda telah memohon kesembuhan kepada Allah dan telah menjalani upaya untuk sembuh yang mubah. Aku menasehatkan anda agar bersabar dan mengharap pahala dari Allah. Aku akan memberi anda kabar gembira, yaitu bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (QS. Az Zumar: 10)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun“. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Baqarah: 156-158)

Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لا يصيب المسلم هم ولا غم ولا نصب ولا وصب( وهو المرض) ولا أذى حتى الشوكة إلا كفر الله بها من خطاياه

“Seorang Muslim tertimpa kesedihan, kesusahan, penyakit, gangguan walau sekedar tertusuk duri, pasti Allah akan menjadikannya penghapus dosa-dosa yang ia miliki” (HR. Al Bukhari bab Al Mardhi no.5318, Muslim bab Al Birr Was Shilah Wal Adab no.2573, At Tirmidzi bab Al Jana’iz no.966, Ahmad 3/19)

Juga sabda beliau:

من يرد الله به خيرا يصب منه

“Jika Allah menginginkan kebaikan kepada seseorang, Allah akan memberinya cobaan” (HR. Al Bukhari bab Al Mardhi no.5321, Ahmad 2/237, Malik dalam Al Muwatha, 1752)

Aku memohon kepada Allah semoga anda diberikan kesembuhan dan kesehatan, serta kebaikan lahir dan batin. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi mengabulkan doa.


Rabu, 08 Agustus 2012

Pintaku Padamu

Bangunkanlah aku dengan sentuhan ayat-Nya, yang kau lantunkan dibibir ikhlasmu.
Lalu ajaklah aku menyegarkan diri dengan air yang mensucikan.

Akan aku simak peringatan yang kau sampaikan dari kitab-Nya, hingga aku larut pada tatapan-Nya yang mendamaikan batinku dan batinmu.
Biarkan aku terleap sejenak masuk dalam cahaya cinta-Nya yang menyusup lembut kalbuku.

Bila aku berbaring
dan tak terbangun, sampaikanlah pada angin-Nya yang selalu datang menyapa wajahmu, agar menerangiku dengan sinar yang kau nikmati disetiap sholatmu, dan do'a tulusmu yang kau sematkan di setiap sujud, tadarus dan tahlil mu.

Pintaku padamu tetaplah menempatkan-Nya di hati terdalammu. Karena cinta-Nya hakiki, hingga kau tak terbangun lagi di dunia ini

BERUSAHALAH UNTUK MENGERTI AKU, KASIH

Kasih dunia akhiratku...
Mingkin saat ini kamu sedang sibuk dengan perkerjaanmu dikantor setelah sejenak kamu menengokku siang ini.
Maafkan aku yang selalu membuatmu kecewa dengan perasaaan ku padamu, dengan hati dan pikiran ini yang kalut tak berujung.

Kasihku...
Izinkan aku untuk belajar menyayangi dan mencintaimu karena-Nya, bukan karena nafsuku untuk memilihmu.  Maka itu, berusahalah untuk merenggut hatiku agar hati ini hanya condong kepadamu dan bukan selainmu.



Kasih...
Mungkin, aku bukan wanita sempurna seperti yang kamu impikan, tapi aku berusaha untuk bisa menyempurnakan mu semampuku.

Kekasih hatiku...
Terkadang, aku memperlihatkan sisi burukku padamu.  Karena aku hanyalah manusia dhoif yang tak luput dari kesalahan.  Jangan kamu benci padaku akan sisi burukku.  Rangkullah aku dengan tangan hangatmu, dan bimbinglah aku untuk mendapatkan surga-Nya dengan berbakti kepadamu.

Kekasihku yang di rahmati Allah...
Maafkan aku yang terkadang marah karena semua inginku, yang tak tersampaikan olehmu.  Tapi ini hanya sementara, maka bertahanlah untuk tetap berada disisiku untuk meredam amarahku dangan senyum dan kasih sayangmu.  Jangan kamu menjauh dariku, karena jika kamu menjauh dariku, mungkin hati ini takkan bisa kembali lagi untukmu suatu saat nanti.

Kekasih hatiku...
Ketika aku lelah, janganlah kamu pergi untuk menghindar, tetaplah disini pinjamkan aku pundakmu, untukku bersandar sejenak melepas kepenatan hati dan fikiranku sejenak saja.

Untukmu yang ada disana...

Untukmu yang sedang berusaha mencintaiku dan menyayangiku karena-Nya.  Untukmu yang bersabar menghadapiku dan tidak lelah untuk merenggut hatiku.  Berusahalah untuk mengerti aku, sekalipun itu sulit.  Berusahalah untuk memahami hatiku.

Mungkin suatu saat nanti, hati ini akan menjadi milikmu...  Insha Allah...

Berhenti Sejenak

Aku ingin berhenti sejenak…
Saat semua puji itu terlampau…
Hati ini galau…
Jiwa terlena…
Lupa bahwa diri ini sebenarnya hina…

Aku ingin berhenti sejenak…
Saat kata yang terangkai dalam tulisan…
Membuat cinta untukMu terburai berhamburan…

Aku ingin berhenti sejenak…
Saat perbuatan mulai tak tulus…
Saat nurani mulai tak lurus…

Aku ingin berhenti sejenak…
Merenung dalam diam ...
Hanya ingin jujur dengan semua rasa yang terpendam…

Aku ingin berhenti sejenak…
Ingin membaca dan lebih memaknai lagi semua yang sudah aku tuliskan...
Ingin melihat semua yang sudah aku lakukan...

Aku ingin berhenti sejenak…
Saat semua puji itu salah alamat…
Ia mulai mengikis niat…

Aku ingin berhenti sejenak…
Tak pungkiri makin lama, aku merasa makin tak mengenali diri...
Aku tak ingin bertemu denganMu dalam keadaan yang seperti ini…

Aku ingin berhenti sejenak…
Meluruskan niat…
Memberi diri ini nasehat…
Agar aku bisa mengukir jejak indah, perjalananku ke akherat…

Ya Allah…
Aku datang dengan sekeping hati…
Sekeping hati yang menjerit…
Sekeping hati yang sakit…

Ya Allah…
Karena tak bersihnya niat…
Aku menjadi hambaMu yang selalu punya cacat…
Yaa aku selalu berpotensi untuk cacat karena aku bukan malaikat…
Meski aku bukan malaikat, aku hamba yang berusaha untuk selalu taat…

Ya Allah…
Karena tak ada kata terlambat untuk bertaubat…
Aku ingin berhenti sejenak…
Meluruskan niat untuk taat…

Ya Allah…
Ampuni dosaku...
Maaf untuk khilafku…
 
Taken from: https://www.facebook.com/rindu.menikah.1

Jika Istri Anda cantik, bagaimanakah menghadapi fitnahnya ?

Ubaid bin Umair adalah seorang tabi’in mulia yang sering memberikan petuah. Seringkali orang yang menghadiri majlisnya, tak terkecuali para sahabat, menangis dan terharu
biru oleh nasihatnya yang menyentuh kalbu. Ia adalah hamba Allah yang kekuatan malaikatnya mampu mengalahkan kekuatan setannya, rasa takutnya kepada Allah mampu menundukkan hawa nafsunya. Sehingga, ia bisa menyiramkan rasa takut yang berbuah taubat kepada orang-orang di sekelilingnya. Kisah wanita Mekah yang bertaubat berikut ini adalah salah satunya.

Suatu ketika, wanita Mekah yang cantik jelita ini melihat wajahnya di cermin. Ia tertakjub dan terkagum dengan kecantikannya yang mempesona. Ia yakin bahwa siapapun pasti akan tergoda ketika melihat pesona kecantikan yang terpancar dari aura wajahnya.
Sehingga ia bertanya kepada suaminya,
“Sayang, adakah orang yang tidak tergoda dengan kecantikan wajahku ini?”
“Ya, ada.”
Terperanjat dengan jawaban suaminya, ia kembali bertanya, “Siapa dia?”
“Ubaid bin Umair.”

Karena ingin membuktikan kebenaran atau kekeliruan ucapan suaminya, ia meminta izin, “Kalau begitu, izinkan aku untuk menggodanya.”
“Ya, aku izinkan.”

Selanjutnya, wanita tersebut mendatangi Ubaid bin Umair dengan berpura-pura bertanya dan meminta fatwa. Ubaid menjawab pertanyaan wanita tersebut di pinggir ruangan Masjidil Haram. Wanita tersebut menyingkapkan penutup wajahnya hingga terlihatlah kecantikan wajahnya bak bulan purnama. Seketika itu juga, Ubaid bin Umair menasehati, “Ittaqillah ya amatallah, Takutlah kepada Allah wahai hamba Allah.”

“Sungguh, aku tergoda denganmu. Maka, lihatlah keadaanku ini.”
“Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Jika engkau menjawab dengan jujur, maka aku akan mempertimbangkan ucapanmu, dan memenuhi keinginanmu.”
“Apapun yang ingin engkau tanyakan kepadaku akan aku jawab dengan penuh kejujuran.”

“Beritahukan kepadaku, seandainya malaikat datang untuk mencabut nyawamu, sukakah kamu bila aku memenuhi keinginanmu itu?”
“Tidak.” Jawab wanita itu.

“Engkau telah berkata jujur. Aku bertanya lagi, Seandainya engkau telah dimasukkan ke dalam kubur kemudian engkau didudukkan untuk ditanyai, sukakah engkau bila saat ini aku memenuhi keinginanmu itu?”
“Tidak.” Jawab wanita itu dengan dada yang sesak. Kali ini dengan suara bergetar.

“Engkau telah berkata jujur. Aku bertanya lagi, seandainya manusia diberi catatan amal-amal mereka dan engkau tidak tahu apakah akan menerima catatan amal dengan tangan kanan atau tangan kiri, sukakah engkau bila aku memenuhi keinginanmu itu.”

Mendengar pertanyaan itu, wanita itu menjawab dengan suara merinding dan tubuh menggigil, “Tidak.”

“Engkau telah berkata jujur. Sekarang, aku bertanya lagi, seandainya engkau berdiri di hadapan Allah untuk mempertanyakan semua perbuatan-perbuatanmu, sukakah engkau bila aku memenuhi keinginanmu itu?”

“Tidak.” Jawab wanita itu dengan tangis berderai yang semenjak tadi ia tahan.

Ubaid melanjutkan, “Engkau telah berkata jujur. Bertakwalah kepada Allah wahai hamba Allah. Sungguh Dia telah memberimu anugerah besar dan mempercantik dirinya.”

Dengan hati yang bertaubat, ia kembali pulang dan menemui suaminya dengan airmata yang masih berjatuhan. Sesampainya di rumah, suaminya bertanya, “Apakah engkau berhasil menggodanya?”
“Sungguh aku dan kamu berada di atas kebatilan.”

Dan semenjak itu, wanita Mekah ini selalu mengisi waktunya dengan banyak shalat, shiyam dan beribadah kepada Allah. Sampai-sampai suaminya berkata,

“Apa yang dilakukan Ubaid kepada istriku. Dulu, setiap malam kami lalui ibarat pengantin yang sedang berbulan madu, tetapi sekarang ia telah mengubahnya menjadi seorang ahli ibadah.”

::: Jika istri Anda sedang jatuh fitnah, maka ingatkanlah dia. Ingatkanlah diri Anda kepada Allah dan hari akhir. Ketahuilah bahwa Anda sedang berdiri di hadapanNya menanti untuk dihisab semua yang telah kamu perbuat. Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang baik yang pernah kita miliki itu akan sirna :::
Taken from: https://www.facebook.com/rindu.menikah.1

Selasa, 07 Agustus 2012

ANDAI HARI INI AKU DIMAKAMKAN

Hari ini aku mati,
Perlahan...
Tubuhku ditutup tanah,
Perlahan...
Semua pergi meninggalkanku

Masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka
Aku sendirian,
Ditempat elap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat...

Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi
Apalagi sekedar kawan dekat atau orang lain
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka

Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah pedih

Tetapi aku tetap sendiri,
Disini, menunggu perhitungan
Menyesal sudah tidak mungkin
Tobat tak lagi dianggap
Dan maaf pun tak lagi didengar
Aku benar-benar harus sendiri...

Yaa Allah, jika Engkau beri aku satu lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka...

Yang selama ini merasakan zalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karna aku...

Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yang telah kukumpulkan,
Yang bahkan aku makan.
Yaa Allah, beri lagi aku beberapa hari milik-Mu
Untuk berbakti pada ayah dan ibu tercinta...

Teringat kata-kata kasar dan keras
Yang menyakitkan hati mereka.
Maaf kan aku, ayah dan ibu
Mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu

Beri juga yaa Allah, waktu untuk
Berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku
Untuk sungguh-sungguh beramal saleh

Aku sungguh ingi bersujud dihadapan-Mu lebih lama lagi
Begitu menyesal diri ini
Kesenangan yang pernah kuraih dulu
Tak ada artinya sama sekali

Mengapa ku sia-sia kan waktu hidup yang hanya sekali itu?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu...

Aku dimakamkan hari ini
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan
Dan ketika semua menjadi terlambat
Dan ketika aku harus sendiri
Untuk waktu yang tak terbayangkan
Sampai Yaumul Hisab dan dikumpulkan di
Padang Masyar

Yaa Rabb... sampaikan salamku
Untuk sahabatku,
Yang selalu mengingatkanku akan hari terakhirku
didunia...

TUHANKU... MAAFKAN AKU

          Tiba-tiba aku terjaga dari mimipiku.  Oh... Indahnya mimpi itu...  Cinta... Ya! mimpi itu bertajuk cinta.  Mimpi yang nyaris tiada nada dan melodi, karena cinta yang hanya berisi gelora emosi.  Tapi, mengapa tiba-tiba dadaku terasa sesak, seolah tak ada ruang untuk mengeluarkan gelora itu.
          Tuhan... lemah ragaku, dibalut luka, Engkau Yang Maha Penyayang, Pengasih dan Maha Tahu, tiba-tiba ku khianati.  Engkau Yang Bijaksana, yang selalu ku damba cinta-Nya tiba-tiba kutinggalkan hanya karena hati kosong tak bercelah.
          Tuhan... kembalikan aku pada sebuah janji, ikrar suci dialam arwah dimana aku berjanji aku tidak akan cinta melebihi cintaku pada-Mu dan Rasul-Mu.
         Ini hanya sebuah mimpi, mimpi cinta manusia dimana cinta hanya kesementaraan yang menggilakan, pesona semu yang menggiurkan, cerita yang meniadakan pendengaran dan tarbiyah yang Kau berikan.  Mata, telinga, dan hati pun terlupakan.
          Cinta adalah hijab yang menutupi hati, tak tampak darinya kebenaran dan tipu daya.  Ilham cinta yang selalu hadir, cinta manusia adalah arak yang memabukkan, candu buah cipta nafsu.
          Tuhan... kini kuresah, untuk apa aku diciptakan.  Untuk apa ikrar janjiku pada-Mu.
          Tuhan... murka-Mu tak ku harap.  Aku takut, aku resah, aku lesu, aku lemah, dan aku h     ina.
          Tuhan... maafkan aku, kini aku telah bangun dari mimpiku, aku ingin berlari mengejar-Mu, berlari agar aku kembali bisa mendekati-Mu. Hilangkan semua angan dari mimpiku ini Tuhan.
        Tuhan... dekap aku, peluk aku, maafkan aku, aku telah larut dalam asaku, dan lupa bahwa Kau-lah kekasih sejatiku.
          Kekasihku, aku ingin menebus kesalahanku.  Kini, biarkan aku bersimpuh di pangkuan-Mu.  Duhai Kekasih ku... maafkanlah aku untuk sebuah rasa yang jauh disana.

"Kembalikan semuanya kepada Allah.  Karena hanya Allah jugalah yang pantas untuk dicinta."



PUISI TERAKHIR WS RENDRA

Seringkali aku berkata, ketika semua orang memuji milikku

Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku adalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya

Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai anggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita.

Ketika aku berdoa kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas

Ku tolak kemiskinan, 
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika

Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Ku perlakukan Ia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Ku minta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku.

Gusti,
padahal tiap hari kuucapkan, "hidup dan matiku hanya untuk beribadah."


"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja."

SHAFIYYAH BINTI ABDUL MUTHALIB

          Shafiyyah binti Abdul Muthalib, beliau adalah bibi Rasulullah saw.  Nama beliau adalah Shafiyyah binti Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab al-Qurasyiyah al-Hasyimiyah.  Selain bibi dari Rasulullah saw, beliau adalah saudari dari singa Allah, Hamzah bin Abdul Muthalib serta ia adalah ibu dari sahabat yang agung Zubeir bin Awwam.
         
 Wanita Pintar Serta Perkasa

          Shafiyyah fasih dalam lisannya dan beliau juga ahli bahasa.  Tidak hanya itu saja, Shafiyyah adalah sosok ibu yang tangguh.  Beliau merawat dan membesarkan putranya sendiri semenjak suaminya wafat.  Ia tak pernah gentar, ia adalah wanita yang memiliki tekad besar yang teguh dan memiliki berbagai prinsip luar biasa.
          Tak hanya itu saja, bahkan beliau ikut dalam perang Uhud.  Shafiyyah ikut mengobati tentara yang terluka dan memberi minum kepada mereka yang kehausan.  Ketika kekalahan dan musibah menimpa kaum muslimin, mereka berhamburan dan Rasulullah saw mendapatkan serangan secara terbuka dari kaum musyrikin.  Pada saat seperti itu Shafiyyah bangkit dengan kemarahannya dan ditangannya tergenggam sebuah tombak lalu ia berdiri dihadapan kaum muslimin yang kalah dan ia berteriak kepada mereka, "Kalian lari meninggalkan Rasululullah."
          Tragedi tersebut amat berat bagi kaum muslimin terutama sangat menyayat hati Rasulullah saw, karena banyak sahabat yang wafat syahid di potong-potong tubuhnya oleh kaum musyrikin, salah satunya Hamzah paman Rasulullah saw yang tak lain adalah saudara Shafiyyah.
Dengan kesabaran, ketabahan, dan ketegaran, beliau melihat jasad saudaranya yang dipotong-potong dan mengucapkan kalimat istirj' - inna lillahi wa inna ilaihi raji'un - dan memohon ampun untuknya, yang semula putranya menghalang-halanginya karena takut beliau tidak kuat melihat musibah tersebut, namun ternyata beliau sesosok wanita yang tegar.  Beliau hanya berharap pahala di sisi Allah serta rela terhadap takdir Allah.

Akhir Hidupnya

          Shafiyyah hidup dalam usia yang panjang, lebih dari 70 tahun.  Ia meninggal pada tahun 20 H pada masa Khalifah Umar bin Khathab.
          Wahai hamba Allah, itulah madrasa Shafiyyah, belajarlah darinya kekuatan tekad dalam menghadapi persoalan, keteguhan dalam menghadapi musibah dan kesabaran dalam menghadapi berbagai peristiwa yang terjadi.
          Semoga Allah meridhai Shafiyyah binti Abdul Muthalib dan mensejajarkannya dengan orang terdahulu yang terbaik.